BAB 28

14.4K 1.7K 387
                                    

Bab 28

"Kenapa?" tanya Raza saat melihat Ola yang misuh-misuh sendiri di tempatnya.

Ola menggeleng. "Udah, ya. Itu sisanya buang aj—eh kok malah lo makan, sih? Lo belum makan, ya?"

Raza balas menggeleng. "Kalau makan dua porsi bubur bisa dibilang belum makan, iya, belum," jawabnya, kemudian kembali menyuapkan sesendok bubur dengan santai.

Melihat bagaimana laki-laki itu makan bubur bekasnya, membuat Ola mau tak mau mengulum senyum. Di mana lagi dia bisa dapat teman sebaik Raza? Apalagi, kini kedua orang tuanya pun sudah tidak bisa diharapkan.

Kedua orang tuanya bercerai, itu artinya mereka tidak akan pernah lagi hidup bersama.

Ola mengembuskan napas pelan, berusaha untuk menghalau air matanya. Dia tak boleh terus bersedih. Seperti apa yang mamanya bilang, keputusan ini akan membuat mamanya bahagia. Sebagai seorang anak, dia pun harus turut bahagia, kan? Meski memang amat sangat susah dan terasa tak adil. Kenapa harus dia yang mengalami hal pahit ini?

"La?"

"O—eh, iya? Kenapa, Za?"

"Ngelamunin apa?"

"Nggak." Ola menggeleng, sembari menyunggingkan senyum. "Lho, udah habis?" tanyanya saat tak melihat kotak bubur di tangan laki-laki itu. Raza langsung membalas dengan anggukan.

Ola pun akhirnya mengangguk menanggapi dan suasana kembali sunyi seperti sebelumnya. Suatu hal yang sangat dibenci keduanya. Rasa asing ini sangat menyebalkan. Namun, mereka pikir ini memang hal yang wajar, mungkin hubungan mereka tak akan pernah seperti dulu lagi. Entahlah.

Setelah asyik dengan ponsel masing-masing selama beberapa menit, Ola pikir sekarang adalah waktu yang tepat untuk meminta maaf. Jujur saja, hatinya belum sepenuhnya lega kalau dia belum meminta maaf secara langsung. Tak ingin menyia-nyiakan momen ini, akhirnya Ola pun memanggil Raza.

"Kenapa, La?" balas Raza sambil menyimpan ponsel ke dalam sakunya, lalu memfokuskan perhatiannya sepenuhnya pada Ola yang tampak gelisah.

"La?"

"Gue minta maaf, Za," ucap Ola pelan, sambil menunduk. Rasa tak sanggup untuk menatap mata cokelat milik Raza secara langsung itu masih ada. Bahkan sekarang, jantungnya berdetak dengan kencang. Ola sangat gugup tentunya. Kira-kira, bagaimana reaksi Raza setelah ini?

"Untuk?" Raza bertanya dengan santai, seolah melupakan hal pahit yang telah terjadi di antara mereka, membuat Ola merasa heran. Terbuat dari apa, sih, hati laki-laki itu? Raza yang saat ini berada di depannya sungguh terlihat biasa-biasa saja, seolah tak pernah terjadi apa-apa di antara mereka sebelumnya. Padahal Ola masih ingat, jika tadi pagi laki-laki itu memalingkan wajahnya saat mata mereka beradu pandang.

Ola menggigit bibir bagian dalamnya. Ditatap dengan intens oleh Raza membuatnya sedikit merasa gugup. Seolah mengerti atas ucapan Ola, Raza pun akhirnya tersenyum, tampan seperti biasa.

"Lupain. Gue yang harusnya minta maaf. Gue tahu, kalau perasaan emang nggak bisa dipaksa. Masih mau temanan sama gue, kan, La?" Laki-laki itu masih tersenyum hangat padanya.

Bibir Ola berkedut, kedua matanya berkaca-kaca. Dia cukup terharu mendengar kalimat sederhana itu, tetapi yang lebih mendominasi adalah bahagia. Rasanya, dia benar-benar telah menjadi orang yang paling jahat di sini.

Memaksa untuk tersenyum dan berusaha untuk menahan tangisnya, Ola merentangkan tangannya yang semula hanya mendapat tatapan dari Raza. Ketika Ola mengangguk, Raza pun tersenyum dan memeluk wanita yang sangat dia sayangi itu dengan erat. Begitu pun dengan Ola. Perempuan itu tak kuasa untuk menahan tangisnya lagi, sampai akhirnya menangis dalam dekapan hangat milik Raza.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now