BAB 19

18.5K 1.7K 428
                                    

Bab 19

Akhirnya, Raza pun pulang dan sampai di rumah pada pukul sepuluh malam. Jantungnya yang terus menggila membuat pikirannya ikut kacau. Entahlah, kenapa perasaan ini semakin rumit dan tak terkendali?

Ola temannya, seharusnya dia tak begini. Sekarang Raza setuju dengan sebuah ungkapan, kita tidak bisa memilih untuk jatuh cinta pada siapa. But wait, dia nggak benar-benar jatuh cinta, kan?

Ini hanya perasaan sementaranya saja yang diyakini akan hilang seiring berjalannya waktu, seperti satu tahun yang lalu. Dia bisa melupakan perasaan sialannya ini saat menjalani hubungan dengan Yasmin. Yasmin? Ya, perempuan yang dicintainya, yang akhirnya mengkhianatinya.

Jujur saja, luka itu memang masih membekas dan Raza sedang dalam masa melupakan. Baginya, selingkuh adalah suatu hal yang tidak akan pernah bisa dia toleransi. Meski dia sendiri pun tidak yakin kalau mereka benar-benar menjalin hubungan di belakangnya, nyatanya dia tetap merasakan sakit saat melihat mereka bersama. Ya, nasib cintanya memang semengerikan itu.

"Baru pulang, Bang?" sapa sang mama begitu dia masuk ruang keluarga dan mendapati kedua orang tuanya di sana. Mama dan papanya itu seperti biasa, sedang menonton televisi bersama.

"Ngambil handphone dulu," jawab Raza setelah menyalami mama dan papanya secara bergantian, lalu bergabung.

"Kenapa ponsel kamu?" tanya sang ayah, yang sepertinya tidak tahu-menahu mengenai insiden ketinggalan ponselnya. Tumben, biasanya mamanya itu pasti selalu laporan pada papanya.

"Mama belum cerita?" Raza bertanya balik, sambil menatap mamanya.

"Ada apa? Papa ketinggalan sesuatu hal yang penting?" ayahnya bertanya kembali. Kini, lelaki beda generasi itu menatap satu-satunya wanita yang berada di sana, meminta penjelasan.

"Nggak terlalu penting," ucap Raza, kemudian meletakkan kantong kertas yang dia bawa dari rumah Ola, yang hampir saja dia lupakan.

"Itu apa, Bang?" Sang mama yang semula duduk bersandar pun seketika menegakkan badannya, menatap kantong kertas tersebut dengan penasaran. Alih-alih membawa sesuatu saat pulang ke rumah, biasanya putra sulungnya itu malah akan meminta makan seolah dia belum makan selama berhari-hari. Makanya, dia harus selalu mempunyai stok makanan di rumahnya, terutama nasi. Perut tiga laki-laki tersayangnya itu tidak akan pernah merasa kenyang jika belum makan nasi. Nasib orang cantik sendirian di rumah.

"Dari Ola."

"Calon menantu Mama?" tanya Deeva iseng, membuat Raza berdecak kesal lalu dibalas kekehan oleh mamanya. Sedangkan papanya hanya menggeleng singkat.

"'Kita teman'. Basi, Bang! Bayi baru lahir juga bakalan tahu kalau kamu tuh punya perasaan sama Ola," cerocos Adeeva, menirukan jawaban yang selalu dilontarkan putranya. "Satu tahun yang lalu, Mama bahkan sempat kaget, lho, waktu kamu bilang kalau kamu punya pacar yang ternyata bukan Ola."

"Ma," panggil Raza, berusaha untuk menghentikan mamanya. Entah sial atau justru beruntung, karena dia mempunyai mama yang sangat peka terhadap anak-anaknya. Raza sudah tak kaget lagi dengan mamanya yang menggodanya seperti ini karena hal ini sudah terjadi sejak dia mengenyam pendidikan di bangku SMA. Namun, jika mamanya saja bisa tahu, apa Ola pun begitu?

Ah, sial! Otaknya tak jernih lagi gara-gara mendengar ucapan mamanya.

"Perasaan kamu wajar, kok, Bang. Ola cantik, baik, terus selalu nggak keberatan kalau kamu minta bantuan. Dia selalu ada di setiap kondisi kamu selama kalian berteman, kan? Tapi ya, itu masalah kalian. Mulut Mama cuma gatal aja. Kalau emang kamu cinta sama dia, kenapa nggak diungkapin aja dari dulu, sih? Mama heran sama kamu. Padahal, anak zaman sekarang tuh mainnya cantik, cepat, kamu kenapa lelet banget, ya, sampai nggak bisa bikin Ola jatuh dalam pesona kamu. Padahal sejak SMA, Papa kamu ini idola para wanita banget. Wakil ketua OSIS, plus ketua tim futsal."

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now