BAB 37

15.2K 1.8K 134
                                    

Bab 37

Ola yang sedang duduk seraya mendengarkan lagu lewat earphone yang terpasang di telinganya pun mengangguk di saat mendapat isyarat dari mamanya untuk melepas benda tersebut. Kedua tangan mungilnya bergerak untuk melepas benda kecil yang menyumbat telinganya itu.

"Ya, kenapa, Ma? Mau maskeran sekarang?" tanyanya membuat mamanya itu mendengkus pelan, sebelum akhirnya menggeleng sambil tersenyum. "Ada yang mau Mama bicarakan sama kamu."

Ola berdecak. "Mama akhir-akhir ini sok misterius banget, sih." Alih-alih menanggapi ucapan mamanya dengan serius, perempuan itu malah menggoda sang mama.

"Kamu yang hubungi Om Bram tadi pagi?" tanya Martha akhirnya, to the point, membuat Ola pun terdiam, sebelum mengangguk mengakui. Lagi pula sepertinya mamanya pasti sudah mencurigainya. "Sorry, Ola terpaksa diam-diam ambil nomor Om Bram dari Mama tadi pagi." Perempuan itu beranjak dari tempat duduknya, untuk beralih ke samping sang mama. Memeluk pinggang mamanya, seraya berkata, "Mama nggak marah, kan?"

Martha membuang napasnya. Tangannya bergerak untuk melepaskan pelukan dari putrinya. "Kami sudah selesai. Kamu pasti sudah tahu itu, kan?"

"Why, Mama? Please, jangan bikin Ola tambah merasa bersalah." Ola berkata dengan penuh putus asa, tak menyangka kalau mamanya akan sekekeh ini dengan keputusannya.

"Nggak ada sangkut-pautnya sama kamu sama sekali." Martha berucap dengan tegas dan serius. Ola terdiam dibuatnya. Memang sangat susah untuk membujuk mamanya ini. Ola merasa deja vu dengan nada bicara sang mama, sama persis saat mengutarakan berita perceraian padanya beberapa waktu lalu.

Setelah itu, keduanya hanya terdiam dan hanya deru napas yang saling bersahutan yang terdengar. Martha pun beranjak dari tempatnya membuat Ola mendongak menatap sang mama dengan sendu. Mamanya memang terlihat tampak kuat, tetapi Ola sangat yakin kalau keadaan mamanya tidak cukup baik-baik saja. Kalau sudah seperti ini, apa yang harus dia lakukan? Demi apa pun, meski dia pernah merasa kecewa atas perceraian orang tuanya, Ola tetap ingin mereka bahagia.

"Raza sedang dalam perjalanan buat jemput kamu. Siap-siap, gih."

"What?!" Ola memekik cukup kencang, jelas sangat kaget, membuat mamanya itu terkekeh geli melihat ekspresi putrinya. Satu tangannya mendarat di puncak kepala putrinya, lalu mengusapnya pelan. "Katanya kalian ada janji. Lupa?"

Ola masih terdiam di tempatnya, tetapi kernyitan di dahinya cukup jelas memperlihatkan kondisi perempuan itu. Apalagi diikuti dengan gelengan setelahnya. "Ola nggak ada janji sama Raza, kok, yang ada ... malam ini janji kita buat maskeran, kan?"

Suara dentingan bel membuat keduanya saling berpandangan. di saat mamanya tersenyum, Ola hanya manyun dan menggeleng. Dia tak merasa telah membuat janji. Ditambah, pacarnya itu sama sekali tak menyinggungnya tadi sore. Ada apa sebenarnya ini?

"Siap-siap aja dulu. Pintu biar Mama yang buka. Itu pasti pacar kamu."

Ola menggerutu di tempatnya, tetapi tak urung menuruti ucapan sang mama. Di setiap langkah menuju kamarnya, Ola berpikir. Perempuan itu mencoba mengingat ada janji apa mereka malam ini?

Ah, atau ini hanyalah akal-akalan sang mama untuk menghindarinya, kan?

Ola berdecak pelan, pasti itu. Selepas mencuci muka, tanpa mandi karena sudah tadi sore. Ola pun segera bersiap. Beberapa belas menit kemudian, dandan kilatnya itu pun selesai. Kaus berwarna putih lengan pendek serta celana jeans telah terpasang rapi di tubuhnya. Cukup mengenakan pakaian kasual, kan? Toh pastinya mereka hanya akan berujung di mal. Apalagi Ola memang tidak membawa banyak pakaian. Pakaian yang lainnya tentu saja masih berada di rumahnya. Meski dia nyaman tinggal di sini, Ola belum berniat untuk pindah. Dia pasti merindukan kamarnya, yang selama ini menjadi tempat berkeluh kesahnya.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now