BAB 5

24.6K 1.9K 174
                                    

Bab 5

"Lo ngapain, sih?" tanya Raza pada perempuan yang duduk tak jauh darinya, yang tengah cekikikan sedari tadi. Dia yang sedang memindahkan file foto ke laptopnya merasa terganggu dengan tawa perempuan itu yang tiada henti. Saat ditegur pun, Ola hanya akan berhenti beberapa saat, lalu akhirnya tertawa kembali.

Ola entah kerasukan makhluk apa. Padahal beberapa puluh menit yang lalu, sehabis video call dengan pacarnya yang jauh, perempuan itu masih menangis meraung-raung. Raza juga heran dengan suasana hati sahabatnya yang mudah sekali berubah-ubah. Apa cewek memang seribet Ola?

"Pengin tahu aja atau pengin tahu banget?" Di saat Raza bertanya serius, lagi-lagi Ola mempermainkannya. Tak lama setelahnya, perempuan itu kembali tertawa. Hanya saja, kali ini tawanya tidak terlalu memekakkan telinga Raza.

"Zaaaaa, lo ngapain, sih?" Setelah puas memainkan ponselnya, kini Ola menghampiri Raza yang masih anteng dengan para pacarnya. Begitulah Ola menyebut kamera dan laptop yang sedang dipangku laki-laki itu. Pasalnya, Raza bisa menghabiskan waktu berjam-jam di depan mereka, tanpa memedulikan keadaan sekitar. Udah seperti orang yang lagi pacaran, dunia serasa milik berdua.

"Anteng banget," lanjut Ola seraya ikut melihat layar di depan matanya, yang ternyata menampilkan hasil pemotretan. Sepertinya foto pre-wedding.

"Prewed siapa ini? Gila, boleh juga. Siapa yang foto, nih?"

"Menurut lo?" Raza bertanya balik.

"Kalau bukan lo, pasti bang Fajar," jawab Ola seraya mengangguk-anggukan kepalanya. Dia melihat-lihat hasil foto yang menakjubkan itu. Benar-benar foto yang mengagumkan.

Raza berdecih. "Sejak kapan si Fajar jadi abang lo?"

"Lah, kenapa emangnya? Ngomong-ngomong, ini di kafe Batavia, bukan? Agak familier gitu."

"Emang."

"Bagus juga ternyata prewed di sana."

"Siapa dulu yang jadi fotografernya," ucap Raza yang disambut decak dan ekspresi ingin muntah dari Ola. Namun, meskipun begitu, jauh dari dalam lubuk hati perempuan itu mengatakan jika sahabatnya ini memang fotografer terbaik.

Kini Ola setuju dengan ungkapan orang-orang yang mengatakan bahwa sebuah potret akan terlihat menakjubkan jika seorang ahli yang mengambilnya. Tak peduli tempat sebagus apa pun, juga dengan pakaian cantik sekalipun, jika yang mengambil foto asal-asalan, maka hasilnya pun begitu. Tak sia-sia juga dia mempunyai teman seperti Raza.

Ola cekikikan di tempatnya saat pemikiran tersebut melintas dalam benaknya. Dia benar-benar mengakui kalau dia beruntung bisa berteman dengan laki-laki itu. Meskipun studio Raza masih kecil, kualitasnya tidak kalah dengan fotografer profesional. Orang lain yang ingin menjadi objek foto laki-laki itu biasanya harus mengeluarkan sejumlah rupiah, tetapi itu tidak berlaku untuk Ola.

"Narsis banget, sih, Pak," ledek Ola, membuat laki-laki itu mengedikkan bahu, tak peduli.

"Gue heran, sih, Za. Lo kayaknya akhir-akhir ini sering jadi tukang foto. Terus, gimana dengan kuliah lo?"

"Emang kenapa?"

"Bukan kenapa-kenapa, sih, cuma kayaknya ... lo terlalu santai aja, gitu."

"Selagi bisa dibawa santai, kenapa harus dibikin ribet?"

"Oh, good! Benar, bagus! teman gue emang pintar," balas Ola merasa tak tahu harus berbicara apa untuk menanggapi perkataan temannya itu. Raza memang sesantai itu, sampai dia suka merasa kesal sendiri dibuatnya.

Kali ini, Raza terkekeh menanggapi. "Tidur sana, udah malam. Gue juga mau pulang," ucapnya seraya berkemas.

Seketika, Ola melarikan padangannya pada jam dinding yang ternyata sudah menunjukan pukul sembilan lewat lima puluh menit. Rasanya baru beberapa menit yang lalu Raza sampai di rumahnya, tetapi nyatanya sudah hampir dua jam.

[Not] FellowshipOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz