BAB 14

17.5K 1.7K 242
                                    

Bab 14

Baru saja pulang setelah selesai kelas dan pemotretan satu kali, dengan keadaan tubuh yang lelah dan butuh istirahat, tak serta merta membuat Raza bisa menolak permintaan sang mama. Jam sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Begitu dia pulang ke rumah, mamanya langsung saja mengajaknya ke pesta pernikahan salah satu kenalannya tanpa ingin dibantah. Itu karena sang papa sedang berada di Bandung untuk meninjau cabang restoran mereka. Padahal, adiknya terlihat sangat santai dengan PlayStation-nya bersama sepupu mereka, Reksa. Jujur saja, yang Raza inginkan sekarang adalah mandi, makan, dan tidur.

Namun, entahlah, mamanya itu kekeh mengajaknya. Satu hal yang menjengkelkan, begitu dia mengingat kalau adiknya itu memang masih dilarang untuk mengemudi. Padahal biasanya, Raza selalu merasa sangat puas saat Putra merengek pada papanya agar diperbolehkan membawa mobil ke sekolah. Namun, tentu saja sang papa tidak menggubris sama sekali.

"Ayo, dong, Za, Tante Jihan udah di jalan."

"Kenapa nggak minta jemput Om aja, sih, Ma?"

Mamanya berdecak. "Banyak protes banget, sih, kamu. Lagian, apa gunanya anak kalau diminta tolong aja nggak mau."

Raza mendesah pelan. Mamanya ini suka kebanyakan drama. "Bukan gitu, Ma, tapi aku baru pulang. Belum mandi juga. Mana lapar, pengin makan."

"Saran Mama, ya, Sayang, daripada kamu ngomel terus, mendingan kamu mandi. Untuk masalah perut, nanti juga kita ketemu makanan di sana."

Raza mendengkus pelan, sangat pelan. Tak ingin mendebat lagi, karena tahu kalau mamanya pasti tak ingin mengalah, akhirnya Raza berlalu menuju kamar mandi.

"Untungnya, gue belum dibolehin nyetir sama papa," celetuk sang adik sambil cekikikan saat dia melewatinya, membuat Raza berdecak sebal.

"Berisik!"

***

Begitu sampai di parkiran hotel tempat resepsi pernikahan dilaksanakan, Raza dapat melihat sepupunya bersama sang Tante di sana. Sepertinya, mereka memang tengah menunggu kedatangan mamanya. Pasalnya, saat mereka menghampiri, Tante Jihan langsung mengajak mamanya untuk masuk. Namun, sebelum benar-benar melangkah, suara Aksel menginterupsi. Gadis tujuh belas tahun itu mengatakan jika dia akan menunggu di parkiran bersama Raza. Sontak saja Raza mengernyit. Kenapa jadi bawa-bawa dia?

"Iya, kan, Za?" ucap Aksel seraya memberi kode lewat mata. Mau tak mau, Raza pun mengiakan. Ada baiknya juga. Lebih baik dia mengikuti sepupunya saja daripada harus ikut dengan mamanya dan beramah-tamah di sana dengan keadaan lelah seperti ini. Akan sangat membosankan.

"Yakin mau nunggu di parkiran?" tanya Adeeva akhirnya. Sebenarnya, dia kurang setuju. Memaksa Raza pergi pun bukan berarti menjadikan putranya itu supir.

"Kita jalan bentar, deh, Tan. Nanti ke sini lagi. Atau nggak, nanti Tante pulangnya diantarin Mama," ucap Aksel kemudian cengar-cengir. "Nggak lama, kok, Ma. Sama Za juga. Sekali-kali doang," bujuknya begitu melihat raut tak setuju dari mamanya.

"Emang abangnya mau?" sahut Jihan seraya menatap putrinya.

"Pasti maulah!" bukan Raza yang menjawab, tetapi lagi-lagi Aksel. Perempuan itu bahkan mengangguk penuh antusias, lalu mengisyaratkan kakak sepupunya untuk mengangguk juga.

Begitu Raza mengiakan, akhirnya mereka diperbolehkan untuk pergi.

***

"Nonton, yuk, Za. Eh, tapi beli gelato dulu, ya," pinta Aksel begitu Raza menjalankan mobilnya menuju Grand Indonesia, seperti apa yang diinginkan sepupunya itu.

"Nyari makan dulu, ya. Gue lapar banget."

"Lah, belum makan malam?"

"Belum, tadi baru aja pulang, terus diseret ke sini," jawab Raza, membuat Aksel menyemburkan tawanya.

[Not] FellowshipOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz