BAB 7

21.2K 1.8K 105
                                    

Bab 7

Hujan mengguyur Ibu Kota dengan deras sejak sore, membuat banyak orang memilih untuk menghabiskan malam minggunya di rumah saja, termasuk Ola. Padahal sebelumnya, dia ada janji dengan Dila untuk jalan ke mal, sekadar membunuh rasa bosan. Semakin hari, hubungan keduanya memang dekat. Ola sendiri bahkan tak pernah menyangka kalau akhirnya dia akan mempunyai teman selain Raza.

Perempuan itu mengetukkan kakinya pada lantai beberapa kali, dengan mata yang tidak lepas dari benda pipih yang digenggamnya itu. Ini sudah hari kedua Kavin hilang bagai ditelan bumi, membuat Ola merasa sangat cemas. Berbagai macam asumsi telah berkeliaran dalam kepalanya. Namun Ola mencoba untuk tetap berpikir positif dengan menggumamkan, "Siapa tahu Kavin lagi sibuk di sana."

Namun tetap saja, hati kecilnya mengkhawatirkan sosok yang dia rindukan itu. Dua hari tidak bisa dihubungi membuat Ola benar-benar kelimpungan. Mereka tidak pernah begini sebelumnya, sesibuk apa pun kegiatan keduanya.

Andai saja Kavin berada di Jakarta, pasti sudah Ola susul ke rumahnya sejak kemarin. Sayangnya, mereka benar-benar tengah menjalani hubungan jarak jauh dan itu sangat dibencinya. Demi Tuhan, Ola benar-benar tak ingin menjalani hubungan jarak jauh ini, tetapi ssekali lagi Ola mencoba mengingatkan dirinya sendiri kalau dia tak boleh egois dengan mengekang kehendak kekasihnya. Dia harus menjadi pacar yang pengertian, seperti apa yang selalu dilakukan Kavin padanya.

"Ya ampun, Kav, kamu lagi di mana, sih?" gumamnya seraya mengetik kalimat tersebut untuk dikirim pada kekasihnya. Ola sudah mengirimkan berbagai SMS, WhatsApp, LINE, sampai mengirim email, tetapi tak satu pun mendapat balasan. Bahkan nomor Kavin tidak aktif saat Ola mencoba untuk meneleponnya.

"Jangan bikin aku khawatir, please."

Lagi-lagi, jemarinya mengetik dengan lincah. Tak terhitung berapa ratus pesan yang sudah perempuan itu kirimkan. Sebelum mendapat tanggapan, sepertinya Ola tidak akan pernah merasa puas.

Setelah menunggu sampai satu jam dan masih belum mendapat balasan apa pun, akhirnya Ola beranjak dari duduknya dan menyimpan ponsel di atas nakas dekat ranjang. Perempuan itu memutuskan untuk pergi ke lantai bawah dan berharap dapat menemukan orang tuanya di sana, meskipun terdengar mustahil. Jam memang sudah menunjukkan pukul delapan malam, tetapi itu tidak menjamin kalau mama dan papanya telah pulang.

Namun, dewi keberuntungan sedang berada di pihaknya. Ola nyaris berteriak saat melihat mama dan papanya sedang duduk di depan layar televisi yang menyala. Rasa cemas akan Kavin pun seketika hilang dan berganti dengan kegembiraan.

"Mama sama Papa kapan pulang? Kenapa nggak ngasih tahu Ola, sih." ucapnya seraya menyalami tangan orang tuanya secara bergantian.

"Kirain udah tidur. Sini, putri Papa yang cantik," balas papanya sambil menepuk sofa kosong di sampingnya, menyuruh Ola untuk duduk di sana yang tentu saja Ola turuti dengan senang hati.

"Gimana kuliah kamu? Baik-baik aja, kan?"

Ola mengangguk. "Baik-baik aja, kok, Pa. Pokoknya nggak ada masalah, deh. Papa nggak usah khawatir soal kuliah Ola."

Sang papa tersenyum bangga. "Putri kecil Papa udah besar sekarang. Syukurlah, kalau kuliah kamu baik-baik aja, Papa ikut senang."

"Oh, ya, La, katanya Kavin ambil magister di SMU. Jadi?" Kini giliran mamanya yang berbicara.

"Iya, Ma. Ola sebal, deh. Kenapa mesti di Singapura, sih? Emangnya fasilitas di sini kurang oke, apa?" gerutunya, yang dibalas tawa oleh kedua orang tuanya.

"Kok gitu? Harusnya kamu dukung, dong. Lagi pula, Kavin mau ngejar cita-citanya, kan?" balas sang ayah pada putri semata wayangnya yang masih menggerutu itu.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now