BAB 10

19.4K 1.9K 186
                                    

Bab 10

Setelah menempuh perjalanan yang memakan waktu lebih dari yang dia perkirakan, karena macet, akhirnya Raza sampai di depan rumah Ola. Selama perjalanan, Raza berusaha menguatkan hati untuk tidak berpikiran negatif dan menahan diri untuk tidak mencoba menghubungi Ola. Rasanya, dia tidak akan sanggup mendengar apa yang membuat perempuan itu menangis. Ola memang cengeng, tetapi dia tak akan sampai menghubunginya jika itu bukan menyangkut hal penting. Apalagi, sekali lagi Raza tegaskan, Ola tahu kalau dirinya sedang berada di Bandung.

Jam sudah menunjukkan pukul empat pagi dan Raza mengabaikan kesopanan dengan menekan bel beberapa kali. Rumah Ola tampak sepi, lalu kemungkinan buruk apa yang terjadi pada sahabatnya itu? Sungguh, sebelumnya Raza berpikir konyol dengan menduga bahwa bisa saja ayah atau ibu Ola kecelakaan. Sebelumnya Ola sempat berkata kalau papanya akan pergi ke Surabaya.

Jantung Raza berdetak tak karuan. Iya, dia cemas.

Setelah menunggu hampir lima belas menit, akhirnya pintu gerbang terbuka. Pak Man menyambutnya. Dilihat dari rambutnya yang basah dan wajahnya yang terlihat segar, Raza mengira laki-laki paruh baya itu baru saja dari kamar mandi. Oke, berhenti, itu bukan fokusnya saat ini.

Begitu pintu rumah terbuka, Raza mengucapkan terima kasih. Laki-laki itu pun langsung melenggang menuju lantai atas untuk menemui Ola, setelah Bibi Mar mengatakan kalau anak majikannya itu belum keluar kamar dari sore. Wajah Bibi Mar terlihat sangat lega begitu melihat kedatangan Raza. Biasanya, semarah apa pun Ola, perempuan itu akan melunak jika bertemu Raza. Bisa dibilang pawang Ola ada dua, yaitu Raza dan Kavin. Berhubung kekasih Ola sedang berada jauh, maka hanya Raza yang bisa mereka andalkan.

"La?" panggil Raza sambil mengetuk pintu di depannya dengan pelan. Samar-samar, dia mendengar isak tangis dari dalam.

"Ini gue, La. Buka pintunya, ya?" pintanya, berharap bujukannya berhasil.

"La?" Ini panggilan Raza untuk kesekian kalinya, yang sama sekali belum mendapat tanggapan apa pun.

"Gue Raza, La."

"Raza?" suara lemah itu akhirnya memanggil namanya.

"Iya, gue Raza. Buka pintunya."

Raza mengetukkan kakinya ke lantai selama beberapa saat, sebelum akhirnya pintu di depannya sedikit terbuka. Dari celah pintu, Raza bisa melihat bagaimana kacaunya kamar milik perempuan itu. Beberapa bekas tisu tergeletak di mana-mana. Bantal dan guling berserakan tak beraturan, hanya menyisakan selimut di kasur yang wujudnya sudah tak terbentuk. Kamar yang biasanya rapi itu kini sangat terlihat menyeramkan.

Laki-laki itu terdiam selama beberapa saat. Jika dugaannya mengenai orang tua Ola salah, maka apa yang terjadi sebenarnya?

Raza membuang napasnya dengan kasar. Kini, perhatian laki-laki itu tertuju pada perempuan yang masih terisak dan duduk di lantai seraya bersandar pada ranjang.

God! Raza benci situasi seperti ini. Dia merasa deja vu. Ola pernah menangis terisak dan menyedihkan seperti ini saat mereka SMA, ketika Ola sadar telah dikhianati oleh teman satu geng. Saat itu Ola benar-benar menangis meraung-raung, dan beberapa kali meracau dan menyalahkan dirinya. Dia mengumpati dirinya sendiri dengan berkata kalau dia adalah perempuan bodoh yang mau-maunya dimanfaatkan oleh temannya. Iya, Ola baru menyadarinya. Karena kurang kasih sayang dari orang tua, mata hati perempuan itu buta dan merasa kalau perhatian teman-temannya itu murni karena menyayangi dirinya. Ola memang sepolos itu dulu.

Perlahan, Raza melangkah mendekat dan ikut duduk di samping sahabatnya yang masih tersedu-sedu. Sebenarnya Raza sangat bingung harus melakukan apa. Meski terlihat sama, situasi dulu dan sekarang sangatlah berbeda. Dulu Ola menangis sambil berbicara, sesekali mengumpat dan mengatakan unek-uneknya, sangat beda dengan sekarang. Saat ini, Ola hanya menangis tanpa suara. Sangat memilukan.

[Not] FellowshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang