BAB 20

20.3K 1.8K 232
                                    

Bab 20

Jika kebanyakan orang menghabiskan malam minggunya dengan nongkrong bersama pacar, beda lagi dengan Ola. Karena statusnya yang single but happy, malam minggu kali ini Ola akan pergi bersama sang ayah. Rencana untuk makan bersama benar-benar terlaksana. Perempuan itu sempat berseru senang kala mendapati papanya sudah pulang begitu dia sampai di rumah selepas belajar masak di rumah Mbak Dila. Belajar memasak memang bukanlah hal yang mudah bagi Ola, tetapi selalu terasa menyenangkan. Apalagi didukung dengan ibunya Mbak Dila yang ramah.

Akhirnya, mereka sampai di salah satu restoran yang sudah sang ayah tentukan. Sebelumnya, Ola sempat protes karena menurutnya, daripada makan malam di restoran membosankan seperti ini, dia lebih menginginkan jalan-jalan dengan sesekali mampir ke warung tenda yang ada di sepanjang jalan yang selalu ramai setiap malam, apalagi ini malam minggu.

Rasanya sudah lama sekali dia tak jalan malam seperti ini. Apalagi sepertinya tak ada alasan lagi untuk Ola keluar malam, dia sama sekali tak mempunyai pacar yang akan mengajaknya pergi seperti Kavin dulu. Ah, Kavin, kira-kira bagaimana kabarnya laki-laki itu? Meski tak seintens dulu, masih saja ada saatnya Ola berharap kalau laki-laki itu akan menghubunginya. Namun, rasanya sangat tidak mungkin, apalagi jika melihat pesan WhatsApp yang dia kirim masih centang satu.

"Kenapa putri Papa cemberut terus, sih? Papa kan udah janji, habis ini kita pergi ke tempat yang kamu mau."

Ola masih terdiam di tempatnya, tampak kesal. Bujukan sang ayah pun tak dihiraukan.

"Kalau kamunya cemberut terus, habis ini kita pulang aja, ya. Kayaknya, Papa lebih baik tidur di rumah."

"Ih, Papa ...."

Mendengar protes putrinya, sontak saja Adinata terkekeh. Kedua bahu ayah satu anak itu tampak bergetar, sangat menikmati raut wajah kesal dari putrinya.

"Ola ngambek, kenapa malah diketawain? Bete, ah."

Sang ayah pun akhirnya menahan tawanya, tak ingin merusak momen yang sangat langka terjadi karena terhalang oleh kesibukannya.

"Ya sudah, maafin Papa," bujuk laki-laki yang berusia empat puluh empat tahun itu pada putrinya yang masih cemberut dan menunjukkan tampang kesal.

Rasanya masih sama, sifat manja putrinya tak pernah hilang. Tak terasa memang, di usianya yang telah menginjak angka empat puluh empat ini, dia sudah memiliki seorang anak gadis berusia dua puluh tahun. Iya, kedua orang tua Ola memang pasangan yang menikah muda. Mereka menikah begitu Adinata baru lulus kuliah, sedangkan mama Ola dua tahun di bawahnya.

Bahkan, sebalnya Ola, beberapa orang yang tidak dekat dengannya sering tidak percaya kalau Adinata adalah ayahnya. Di usianya yang hampir setengah abad ini, papa Ola memang terhitung berpenampilan nyentrik, meski sehari-harinya laki-laki itu menghabiskan waktunya dengan bekerja. Lihatlah penampilan sang ayah malam ini, bak ABG saja. Kemeja berwarna hitam yang digulung sampai siku, juga celana jeans berwarna krem kebanggannya. Monoton, itulah pikir Ola. Karena kalau diperhatikan, semua warna baju milik ayahnya itu tak luput dari warna krem, hitam, putih, abu, sudah. Bahkan saat dia membelikan kaus berwarna merah tua, untuk ayahnya saat dulu pergi study tour ke Yogyakarta bersama rekan SMA-nya, dengan teganya papanya itu malah memberikan kaus pemberiannya pada Pak Man, tanpa sepengetahuannya.

"Udah lama, ya, Pa, kita nggak habisin waktu sama-sama kayak gini? Andai aja Mama juga ikut," ucap Ola. "Sayangnya, Mama sibuk terus."

Sang ayah tersenyum hangat. "Lain waktu kita jalan bertiga, ya?" balasnya yang tak Ola pedulikan. Perkataan semacam itu sudah sering dia dengar. Entah itu terlontar dari mulut sang ayah atau bahkan ibunya sendiri. Kasarnya, Ola sudah muak mendengar kalimat tersebut. Toh, bertemu di rumah bertiga saja dalam sebulan bisa dihitung dengan jari, apalagi untuk jalan keluar bertiga. Mustahil.

[Not] FellowshipNơi câu chuyện tồn tại. Hãy khám phá bây giờ