BAB 9

21.7K 1.8K 97
                                    

Bab 9

Tiga minggu telah berlalu dan acara fashion show yang digelar Sabtu malam ini berjalan lancar sesuai dengan rencana. Bahkan bisa dibilang, acara berlangsung sukses dan meriah. Acara yang begitu mewah itu juga dihadiri beberapa kalangan pencinta fashion, termasuk beberapa selebritas tanah air.

Kini, Raza beserta tim, juga ditemani tim Devdas yang menangani acara ini secara keseluruhan, tengah berkumpul di sebuah restoran hotel tempat acara dilaksanakan. Malam ini, mereka berkumpul bersama untuk mengadakan pesta kecil-kecilan sebelum acara perayaan gila-gilaan yang telah direncanakan Devdas besok malam.

Laki-laki itu menepuk-nepuk bahu Raza pelan. Meskipun Raza masih remaja, Devdas mengagumi kegigihan dan semangatnya.

"Jadi, di Jakarta kamu juga punya studio?"

Raza mengangguk seraya tersenyum tipis. "Studio kecil, Mas. Saya kelola bersama beberapa rekan saya di sela jadwal kuliah. Iseng-iseng aja," jawabnya.

Devdas terlihat mengangguk-angguk. "Mas suka tim kamu, Za. Sekali-kali, kita kolaborasi lagi, ya, kerja proyek bareng. Mas suka hasil kerja kamu. Good, anak muda yang kayak gini yang gue cari-cari selama ini."

Meskipun Devdas terlihat sangat rendah hati, tetap saja Raza segan padanya. Namanya sudah tak asing lagi untuk anak-anak pencinta fotografi. Raza bahkan termasuk orang yang beruntung karena bisa bertemu, bahkan bekerja sama dalam suatu acara. Lalu, apa katanya? Devdas menawarinya untuk berkolaborasi lagi? Wah, Raza sangat tak menyangka.

"Terima kasih, Mas. Saya dan teman-teman masih belajar juga."

Devdas lagi-lagi mengangguk. "Jurusan Fotografi?"

"Bukan. Saya ambil Ilmu Komunikasi."

"Oh, ya, benar, masih agak berhubungan, sih. Zaman sekarang, ilmu fotografi bisa diambil dari mana aja. Autodidak pun bisa, asal benar-benar punya niat. So, gimana asal mulanya kamu suka sama dunia fotografi? Orang tua kamu dukung banget kayaknya, ya?

"Awalnya, sih, saya kayak suka aja, Mas. Tertarik dengan hal-hal kecil yang saya rasa harus diabadikan. Dulu, waktu saya masih empat belas tahun, saya nekat minta kamera sama papa. Awalnya papa nggak kasih izin, apalagi Mama saya. Mereka melarang karena takut mengganggu sekolah saya. Mereka tahu kalau saya sudah suka sama sesuatu, perhatian saya benar-benar susah untuk dialihkan. Tapi, saat itu, saya coba jelasin dan bilang kalau semuanya nggak bakal berpengaruh sama sekolah saya. Sampai akhirnya papa pun setuju meskipun mama saya agak tidak mendukung."

"Beruntungnya kamu punya papa yang mendukung, ya?" ucap Devdas seraya terkekeh kecil.

Raza mengangguk. "Lambat laun, mama pun ikut dukung keinginan saya, dengan adik saya pun begitu. Selagi apa yang kami jalani bermanfaat dan nggak di luar batas aja."

"Saya iri sama kamu, Za. Sampai sekarang, orang tua Mas masih anggap remeh dengan usaha Mas. Tapi, saya orangnya keras kepala. Saya juga suka kebebasan, nggak mau dikekang sama sekali, sangat beda dengan kakak kembar saya."

Entah kenapa, dua orang beda generasi itu saling berbagi cerita begitu saja. Keduanya tampak akrab dan klop saat bersama. Bahkan kini mereka hanya duduk berdua, sementara yang lainnya berkumpul sambil berbincang dan sesekali tertawa. Raza langsung merasa nyaman saat berbicara bersama Devdas, begitu pula sebaliknya. Mungkin yang membuat keduanya terlihat sangat kompak adalah karena sama-sama mencintai dunia fotografi. Mereka sudah menganggap dunia fotografi sebagai bagian dari hidup mereka.

"Semangat buat kerjaan kamu, juga kuliahnya. Kamu kapan pulang?"

"Hari Senin, Mas. Besok saya mau hunting sebentar, sekalian refreshing," jawab Raza sambil tersenyum.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now