BAB 27

15.5K 1.7K 290
                                    

Bab 27

Setelah beberapa hari tak pulang ke rumah dan memilih untuk menginap di indekos Fajar, akhirnya malam ini Raza pulang. Mamanya langsung menyambut dengan omelan. Pasalnya, beberapa hari ini dia selalu mengabaikan panggilan atau bahkan pesan dari mamanya. Bukan bermaksud untuk membuat mamanya khawatir, hanya saja ... Dia masih butuh waktu untuk sendiri.

Namun hari ini, Raza siap memulai segalanya, melupakan beberapa hal yang sempat membuatnya menjadi orang bodoh. Dalam kata lain, dia siap melupakan Ola dan menghapus semua perasaannya. Raza masih ingat ucapan sahabatnya Fajar. "Jangan menyia-nyiakan waktu lo cuma untuk memperjuangkan orang yang sama sekali nggak ngelirik lo. Lo cuma harus ingat, kalau jodoh nggak akan ke mana, itu udah hukum alam."

Ucapan Fajar ada benarnya. Dia tak mungkin harus bertahan di satu orang, di saat orang itu saja bukan siapa-siapanya.

"Za, kamu dengar, nggak?! Mama bicara sama kamu."

Raza meringis. Terlalu banyak melamun, sampai-sampai dia tak sadar kalau mamanya masih mengomelinya di depan Ayah serta adiknya yang sudah memeletkan lidah mengejeknya. Untuk kali ini saja, Putra dia maafkan.

"Iya, Ma, sorry."

"Mama nggak butuh maaf kamu. Bisa, nggak, kamu nggak bikin Mama khawatir?" Mamanya berkacak pinggang, membuatnya meringis.

"Aku udah bilang sama Papa, kok, Ma," jawab Raza, berusaha membela diri. Lagi pula, apa yang dikatakannya memang benar. Pesan singkat papanya yang beberapa hari lalu masuk ke ponselnya, tentu saja langsung dia balas. Dan begitu papanya tak mempermasalahkan hal itu, Raza baru merasa bebas.

"Lho, Papa tahu?" Kini mamanya menatap sang ayah yang malah mengedik tak acuh. Kebiasaan papanya ini.

"Terus, kenapa Papa nggak bilang sama Mama?! Kamu tahu, kan, kalau aku khawatir?"

Sekarang, mamanya beralih mengomeli sang ayah. Sementara itu, Raza bisa mengembuskan napas lega dan mulai duduk menikmati beberapa camilan yang ada.

"Yang penting udah pulang." Itu suara papanya, menjawab dengan nada yang begitu santai menenangkan jiwa, tetapi sukses menyulut amarah mamanya.

"Kamu tuh suka gitu! Lagian Raza, kalau kamu bisa balas pesan Papa, kenapa kamu nggak balas pesan Mama?!"

Ya ampun, Raza pikir dia sudah bebas.

"Ya ... habisnya aku bingung, Mama nge-chat-nya terlalu banyak."

Adeeva mendengkus. "Bagus! Jadi, Mama yang salah di sini?!"

"Ya nggak, lah!" Tiga laki-laki beda generasi yang ada di sana itu menjawab dengan kompak. Sudah tak asing lagi di rumah mereka, pada hakikatnya Mama selalu benar. Titik, tak bisa diganggu gugat.

***

Akibat menangis semalaman dan baru tidur pukul tiga pagi, alhasil begitu bangun pukul enam, mata Ola bengkak. Sialnya, dia ada kuliah jam sembilan hari ini. Mau tak mau dia harus bangun dan membersihkan diri.

Meski masih dalam keadaan yang belum baik sepenuhnya, Ola tak mungkin mengabaikan kuliahnya. Selesai bersiap, dia lantas membuka pintu kamar dengan pelan dan berharap untuk tidak bertemu siapa pun di lantai bawah.

Sebagai bentuk antisipasi, beberapa menit yang lalu Ola sudah memesan ojek online yang akan mengantarnya. Memilih untuk mengabaikan sapaan Bibi Mar yang menyuruhnya sarapan, Ola berlari begitu saja. Karena matanya membengkak dan Ola sangat sebal melihatnya, akhirnya dia mengenakan kaca mata untuk sedikit menyamarkan masalah itu.

Tiba di kampus pukul setengah sembilan dengan keadaan perut kosong, Ola menyempatkan diri terlebih dulu untuk mampir ke coffee shop yang terletak di depan kampusnya. Dia butuh sesuatu untuk mengganjal perut kosongnya. Baru dia sadari, ternyata terakhir kali dia makan adalah siang kemarin.

[Not] FellowshipWhere stories live. Discover now