5

45 15 0
                                    

Acha POV

Motornya berhenti tepat di depan rumahku. Sesaat sebelumya, kami bertengkar di atas motor dalam perjalanan. Ada dua hal yang membuat kami bertengkar. Bisa disimpulkan temanya adalah gara gara helm, gara gara Nung, dan gara gara Deva bertanya hal yang tidak jelas.

Deva melajukan motornya dengan kecepatan yang tidak terlalu penuh. Mungkin sekitar 30km/jam. Ada hal yang membuatku kesal. Saat ia mendadak menurunkan kecepatannya sesaat sebelum melewati beberapa polisi tidur. Sontak saja kepalaku membentur helmnya. Deva sih enak pake helm. Aku? Kalau pahlawan ada yang bernama Tuanku Imam Bonjol. Lain halnya dengan ku. Orang orang akan menjulukiku 'Achaku kepala benjol'. Anjir kan.

"Kya! Lo niat ga sih bawa motornya? Sakit woy." Protesku sambil memukul bahunya.

"Sorry, ga sengaja. Abisnya polisinya sih, tiduran di jalan." Entah itu lelucon atau sebuah keseriusan, yang jelas itu membuatku kesal. Pake nyalahin polisi lagi. Emangnya polisi tidur, beneran polisi manusia?

"Gila ya lo. Kalo nyetir yang serius kek."

"Iya iya. Bukan cuma nyetir aja kok yang bakal gue seriusin. Lo juga." Gombal gombal gombal ala buaya. Tapi bukan buaya darat. Buaya selokan.

Beberapa saat setelah tragedi ter-kejedotnya kepalaku, kami hanya diam. Hanya suara angin dan motor yang berlalu lalang yang terdengar.

"Nung." Aku tak menggubris. Karena aku pikir, Deva tengah berbicara dengan seseorang yang lain. Tapi kan, kita di atas motor. Sangat tidak mungkin dia mengobrol dengan orang lain. Terkecuali denganku. Wait, dia bilang apa barusan? Nung? Nung siapa????

"Nung." Ucapnya lagi. Ini membuatku yakin kalau dia benar benar memanggil ku dengan sebutan 'Nung'. Entah 'Nung' siapa, atau 'Nung' yang mana, aku tidak peduli. Yang jelas aku tidak terima jika 'Acha' diubah seenaknya menjadi 'Nung'.

"Lo ngomong sama gue?" Tanyaku meyakinkan diri sendiri.

"Iyalah. Emang sama polisi tadi? Kan polisinya tiduran di aspal."

"Ih." Sontak tanganku memukulnya. Kali ini di bagian helm.

"Terus, kok lo manggil gue 'Nung'? Kan lo tau nama gue Acha."

"Nggak. Lo itu Nung. Lebih bagus." Saran yang menjengkelkan.

"Emang Nung apaan?"

"GUNUNG. Kan lo mount Everest."

"Kyaa!!! Devaa!!!! Anjir lo ya!" Aku menyerah. Aku menyerah dengan semua olok-olokannya tentangku. Aku bahkan sampai kehabisan kata kata. Tidak tau apakah aku harus mengumpat, atau langsung menjadi psikopat.

"Eh Nung."

"Stop panggil gue Nung. Lo mau gue panggil 'kan'?"

"Hah? Kan?"

"SELOKAN! PUAS LO!"

Entah apa yang membuat percakapan kami begitu lucu. Begitu menghibur. Apalagi, membahas sampai selokan selokan. Deva tertawa sampai sampai aku takut jika ia tidak akan fokus nyetir.

"Eh Nung"

"Dev, jangan panggil gue Nung ah. Apaan sih. Receh banget lo."

"Iya iya Nung. Eh maksudnya Cha. Sorry, kebiasaan."

"Ya jangan dibiasain dong."

"Iye iye."

Diam. Kami diam. Tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. Membiarkan telinga kami, mendengar desiran angin, dan klakson kendaraan yang sesekali berbunyi. Dan aku akan membahas masalah yang kedua. Yang membuat kami bertengkar kembali.

DevandraWhere stories live. Discover now