18

17 5 0
                                    

Aku lantas berjalan pergi meninggalkan Deva di parkiran. Tidak peduli apa yang akan ia pikirkan tentangku. Tidak peduli apakah ia merasa bingung dengan perilakuku atau tidak. Aku meletakkan tas ku di bangku. Kelas  sudah ramai. Sudah hampir semua murid datang ke sekolah. Bel masuk pun sudah hampir berbunyi. Aku diam. Lagi lagi pikiran tentang kejadian hari Sabtu kembali terngiang di dalam otakku. Sebenarnya, banyak hal yang harus ku tanyakan pada Deva. Tentang, siapa Airin? Apakah benar dia pacarnya? Apakah mereka ada hubungan serius?

Jujur, aku sadar, hubunganku dengan Deva menjadi lebih dekat. Aku juga tidak masalah, jika hubungan kami tidak ada status. Aku juga sadar, kalau hal yang kurasakan ini adalah cemburu. Tidak suka apabila Deva tengah dekat dengan gadis yang tidak ku ketahui siapa dia. Tapi mungkin saja, Deva tidak merasa begitu. Mungkin saja ia hanya merasa jika hubungan kami hanya sebatas teman. Tidak lebih. Mungkin saja ia santai santai saja jika aku cemburu atau tidak. Mungkin saja ia sering bersama gadis lain. Ugh, aku semakin kesal dengan keadaan.

"Dor!" Teriakan Keyla dan Nara yang berada di dekatku membuyarkan semua lamunanku.

"Kenapa Cha? Kok mukanya gitu? Kayak Kak Meiza kalo lagi kesel. Hahaha." Ucap Nara.

"Dih ogah." Jawabku singkat.

"Ntar pas istirahat, kita ke kantin bareng yuk." Sambung ku.

"Yaah, gue gak bisa. Ada kumpul ekskul." Keyla menolak.

"Gue juga. Disuruh ke ruang guru buat ngurusin ulangan kemaren sama pak Hadi." Nara juga menolak.

"Dih sok sibuk kalian."

Ponsel ku berdering. Sebuah panggilan masuk dari Deva. Ugh, mau apa memangnya pagi pagi begini? Apalagi sudah mau bel. Aku menolaknya. Namun Deva tetap menelepon ku. Kembali lagi, aku menolak panggilannya. Tapi tetap saja, Deva kembali menelepon ku.

"Kenapa gak diangkat aja sih? Itu Deva loh." Ujar Nara.

Aku menggeleng dan langsung menolak panggilan. "Males ah. Gak penting juga."

"Anjing!!! Siapa yang nelfon gue woy?!!! Gue nge-game anjing!!!" Elvan mendadak mengumpat tak jelas. Membuat semua murid menoleh ke arahnya.

"Halo...? Oh iya iya. Gue nge-game woy. Iya iya. Ini..." Suara Elvan samar samar terdengar namun aku tak memperdulikan nya.

"Cha, kenapa gak diangkat sih telfonnya?" Ucapnya yang tiba tiba menghampiriku.

"Hah? Telfon siapa?"

"Deva. Kenapa gak lo angkat sih? Kan gue jadi korban kalian. Gue lagi nge-game tau."

"Maksudnya apaan?"

"Duhhh. Gara gara lo gak angkat telfon dari Deva, dia nelfon gue. Akibatnya, gue kalah mabar. Nih, cepet ngobrolnya." Ucapnya dan langsung memberikan ponselnya kepadaku.

"Halo?" Ucapku.

"Kenapa gak diangkat sih Cha? Yaudah, pas istirahat, gue ke kelas lo." Ucapnya di ujung telepon.

"Iya." Jawabku singkat dan sambungan telepon terputus.

"Nih Van." Aku memberikan ponsel kepada Elvan.

"Udah? Cuma lima detik, kalian ngomongin apa?" Tanyanya ingin tau.

"Katanya, dia mau ke sini pas istirahat."

"Gitu doang?"

"Iya."

"Serius?"

"Iyalah."

"Ya ampun!!! Gue kira penting banget. Ternyata cuma itu???"

Aku mengangkat bahu.

***

DevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang