13

18 6 0
                                    

Author POV

Kriiinggg!!!
Bel berbunyi yang membuat semua siswa berhamburan seperti beras yang tumpah. Apalagi bel pulang yang memang di tunggu tunggu sedari tadi. Deva langsung keluar kelas. Bergegas menemui gadis berambut panjang di kelas Mipa 1 itu. Siapa lagi kalau bukan Acha. Baginya, Acha lah yang menjadi teman dekat wanitanya. Menurutnya, Acha tidak terlalu berlebihan seperti gadis yang pernah ia temui. Ia hanya tampil dari apa adanya dia. Kesal, ya kesal. Tidak dibuat buat. Itu yang membuat Acha unik baginya. Menurutnya, spesies seperti Acha harus dilestarikan agar tidak punah. Mau bagaimana lagi kalau bukan dengan menjadikannya sebagai pacar.

Tapi, mendapatkan Acha tidak semudah membalikkan kedua telapak tangan. Harus disertai perjuangan yang meyakinkan. Deva sempat merasa tidak ingin lagi memperjuangkannya, namun pikiran itu di tepis kuat kuat, apalagi saat kejadian Acha mengobati Deva. Perhatian yang belum pernah ia dapatkan. Selama ini, saat ia terluka karena berkelahi, tidak ada yang mengobatinya. Ia hanya membiarkan sampai sembuh sendiri. Jadi tidak heran jika ia merasa terkesan atas perilaku Acha saat itu.

"Dev!!!" Seseorang memanggilnya saat ia tengah bergegas menuju kelas sepuluh Mipa 1. Meiza. Kakak kelas yang bisa dibilang ngebet banget untuk berpacaran dengan Deva.

"Apaan?" Jawabnya ketus.

"Aku boleh ngomong bentar? Serius."

"Gak bisa. Gue ada janji pulang bareng. Gue gak mau dia nunggu nunggu gue."

"Tapi bentar aja Dev. Gak lama kok."

"Gak bisa! Gue bilang gak bisa."

"Siapa sih Dev?" Tanya Meiza langsing ke intinya.

"Siapa apa?"

"Siapa cewek yang sekarang deket sama kamu?"

"Kenapa emang? Jangan macem macem lo ya?!" Kali ini nada suara Deva menjadi kesal saat Meiza mulai mengungkit Acha.

"Ya makanya. Aku gak bakal macem macem. Kalo kamu mau ngomong sama aku sekali ini aja. Abis itu kita adil. Gimana?" Tidak ada pilihan lain selain menyetujui permintaan Meiza. Ia benar benar tidak ingin jika Acha mendapat masalah karena dirinya.

"Yaudah oke. Tapi gue gak bisa lama."

"Okeee." Wajah Meiza terlihat sumringah. Tidak seperti sebelumnya. Seolah ia baru saja memenangkan tiket lotre. Ruang teater adalah tempat yang disetujui untuk mereka. Deva tidak tau apa yang akan Meiza bicarakan. Intinya, dia ingin cepat cepat selesai.

"Yuk masuk." Deva menepis tangan Meiza yang berusaha menggandeng tangannya. Membuat wajah gadis itu terlihat sedikit kesal. Namun cepat cepat hilang dan berubah senyuman saat melihat Deva. Disana sudah terlihat Alex. Teman Meiza. Namun juga kenal dengan Deva.

"Hai Dev."

"Hm." Balasnya.

"Sini duduk." Meiza menyuruhnya duduk di dekatnya.

"Mau ngomong apaan sih?" Tanya Deva yang sudah tidak sabar ingin cepat kelar.

"Kamu inget gak waktu..." Ucapan Meiza terpotong.

"Waktu apaan? Gue gak pernah ya berduaan sama lo. Kita pacaran juga cuma satu minggu. Gak lebih. Jadi gak usah lebay pake inget inget segala."

"Aku mau kita balikan Dev. Kayak dulu. Aku cuma mau kamu. Kamu tau, siang gak akan ada, kalo gak ada matahari..."

"Gak usah gombal. Gue bukan cowok yang gampang jatuh ke cewek kayak lo. Gue juga pacaran sama lo karena lo yang ngebet banget. Gue sih ogah."

"Iya tapi kan..."

Krek. Saat itu pintu terbuka lebar. Acha. Acha masuk sedikit ke dalam. Membuat Deva terkejut bukan main. Bagaimana bisa, gadis itu kesini?

"Kenapa ya?" Tanya Alex.

"Ng-maaf kak. Salah masuk ruangan." Bagi Deva. Itu hanya sebuah alasan. Karena yang sebenarnya, Acha kesini untuk menemuinya. Bukan karena salah masuk ruangan.

"Cha!" Ucap Deva saat Acha langsung pergi.

***

Pikirannya benar benar lelah dan kacau. Ia tidak ingin hubungannya dengan Acha rusak hanya karena masalah ini. Ia kembali pulang saat  Acha memintanya untuk tak mengikutinya. Di atas motor. Di tengah jalan. Pikirannya melayang akan suatu hal. Gadis yang selalu di boncengnya sambil mengolok-olok satu sama lain diatas motor sepulang sekolah. Gadis yang pernah menemaninya makan dan mengobatinya dengan rasa perhatian. Gadis yang menemaninya ke perpustakaan hanya untuk mengobrol sambil berbisik bisik.

Ada dua hal yang ia sesali. Pertama, saat Acha tau, ia tengah berantem. Ia takut Acha akan menjauhinya. Namun penyesalan itu cepat di tepis saat Acha mengobati lukanya di warung.

Yang kedua, adalah saat tadi. Ia benar benar menyesal mengapa mau diajak ngobrol dengan Meiza. Padahal ia tau, ia ada janji dengan Acha dan menyuruh Acha menunggu untuknya.

Sampai di rumah, ia membuka pintu. Di lihat adiknya, Nayla, tengah bermain di ruang tamu dengan temannya. Bobi.

"Assalamualaikum pahlawan kecil." Ucapnya pada kedua anak kecil itu.

"Waalaikumsalam pahlawan ganteng." Pernyataan yang tidak pernah ia duga sebelumnya. Bermain dengan Nayla dan Bobi, menghilangkan rasa kesalnya sejenak. Ia hanya tinggal berdua dengan adiknya. Sementara Bobi, anak tetangganya tinggal di rumah sebelah bersama orang tuanya.

"Nayla sama Bobi udah makan?"

"Udah dong bang. Abang udah?" Tanya Nayla.

"Nanti. Yuk ke kamar abang."

"Nonton film tonjok tonjokan bang?" Tanya Bobi dengan nada khas anak kecil.

"Iyadong."

"Horeee!!! Yuk Nay!" Ajaknya pada Nayla.

"Bentar, abang kunci pintu depan dulu."

Rumah yang di tempatnya lumayan besar. Namun hanya dua ornag yang tinggal disana. Ibunda tersayangnya sudah menghadap Tuhan. Sementara ayahnya, sudah pergi entah kemana. Menelantarkan kedua anaknya. Ia masih kesal dan muak dengan ayahnya. Meskipun ayahnya selalu mengirimi uang untuk biaya hidupnya.

Ketiganya nonton film bersama. Melihat Nayla dan Bobi, yang sudah dianggap sebagai adiknya sendiri, apalagi saat mereka tertawa bersama, saling melindungi satu sama lain, saling menanggung bersama tentang apa yang telah mereka perbuat, membuatnya mengingatkan kembali pada kenangannya bersama gadis cantik masa lalunya yang bernama Gladys. Dulu ia dan Gladys sering begitu. Setiap kali Gladys datang ke rumahnya, mereka selalu bersenda gurau disana. Apalagi, ibunya Deva sangat menganggap Gladys.

Ia cepat cepat membuang pikirannya tentang sosok gadis itu. Sebelum datang sebersit pikiran lain tentang mengapa mereka kini berpisah.

***

"Deva. Aku butuh waktu. Gak semua hal harus stay Dev." Ucap Gladys.

"Iya aku tau. Tapi kan aku juga gak bisa nerima kalo kamu tiba tiba kayak gini."

"Dev, tolong ngertiin situasinya."

"Bukan situasinya yang harus kamu ngertiin, Dys. Aku juga harus kamu ngertiin. Sekarang gini, kamu tiba tiba mau pergi, itu apa coba?"

"Ada alasannya Dev. Aku gak pergi gitu aja kok."

"Gini. Bukan cuma raga kamu aja yang pergi. Tapi hati kamu juga kan? Aku udah tau, kalo kamu udah ada yang lain."

Gladys terdiam. Tidak ada yang bisa ia katakan setelah Deva tau tentang semuanya. Ia hanya bisa membiarkan cowok yang sudah mengisi hari harinya selama 2 tahun terakhir, pergi begitu saja. Ia merasa tidak bisa menyalahi Deva, apalagi menyalahi keadaan. Semua sudah terjadi.

"Deva!" Itu adalah kalimat terakhir yang keluar dari mulut gadis ini untuk Deva. Deva hanya menoleh ke belakang sebentar, lalu pergi lagi.

.
.
.
Jadi ini alasan kenapa Gladys sama Deva pisah guys. Yuk lanjuttt<3

DevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang