11

20 6 0
                                    

Pikiranku bingung menanggapi kelakuannya kali ini. Jadi selama beberapa menit terakhir, Deva hanya pura pura keluar saat aku desak, namun nyatanya hanya menunggu ku di depan pintu perpus? Benar benar kelakuan yang tidak masuk akal untuk tukang berantem semacam Deva.

"Hah? Terus buat apa?" Tanyaku yang masih di dekat pintu.

"Bawel lu. Udah ditungguin juga. Bukannya bilang makasih kek, malah nanya nanya. Udah ah yuk!" Tangannya lantas mengacak acak rambutku dan mengajakku pergi.

"Iya iya makasih."

Kami berjalan di sepanjang koridor sekolah. Beberapa murid kelas sepuluh IPS, menatapku penuh keheranan. Memangnya aku tengah berjalan dengan seorang prince charming? Padahal kan hanya berjalan dengan seorang cowok menyebalkan dan penuh ketidak jelasan.

"Lo tau nggak? Kenapa murid kelas sepuluh IPS satu sampe tiga, ngeliat lo gitu?" Tanya Deva seolah ia bisa membaca pikiranku.

"Hm? Ng-nggak. Lagian gue gak peduli juga kali." Ujarku berusaha bersikap biasa biasa saja. Padahal merasa penasaran dengan kelakuan murid lain yang menatapku begitu.

"Itu karena, lo lagi jalan sama cowok yang di idolain satu sekolah. Eh, diluar sekolah lain, gue juga di idolain loh. Jadi lo ati ati aja, kalo jalan sama gue di luar sekolah. Hahaha."

"Apaan sih? Gue kan udah bilang, gue gak mau tau. Ngapa lo pake jelasin segala. Lagian nih ya, kalo di luar sekolah, kapan sih gue pernah jalan sama lo? Nggak pernah kan? Jadi gak usah ngehalu."

"Loh, yang waktu itu? Kan kita pulang barengan."

"Yang waktu itu kan karena TERPAKSA. Kalo gue dijemput, atau nemu bajai, gue gak bakalan mau kali dianter lo." Aku sengaja menekankan kata terpaksa agar Deva tidak merasa kegeeran.

"Ooh, jadi ga pernah jalan bareng nih?" Tanyanya.

"Nggak lah." Jawabku singkat.

"Yaudah yuk kapan?" Perkataannya membuat ku menoleh benar benar sinis kearahnya. Apa apaan? Perkataannya sangat melenceng dari topik pembicaraan sebelumnya.

"Hah? Apaan sih? Ga jelas lo."

"Lah itu barusan lo ngodein gue biar kita jalan bareng."

"Sorry nih ya, gue gak ngode biar lo ngajakin gue jalan. Nggak sama sekali."

"Halah, tapi lo mau kan?"

"Mau apaan? Gila lo ya. Gak! Gue gak mau. Apaan sih ni orang?!"

"Yaudah iya. Lo gak ngodein gue. Tapi ini kan, kreatifitas gue sendiri yang mau ngajakin lo jalan."

"Kreatifitas apaan? Itu sama sekali gak kreatif. Basi tau nggak."

"Serah deh, jadi nggak nih?"

"Jadi apaan sih? Kan gue udah bilang gue gak mau."

"Jadi ke kelas maksudnya."

"Ooh, ya jadi lah."

"Oh jadi nih?" Tanyanya lagi.

"Iya jadi lah."

"Jadi jalan? Oke deh. Ntar malem gue jemput."

"Hah? Nggak. Maksud gue kan jadinya tuh jadi ke kelas. Bukan jalan."

"Gak bisa gak bisa. Udah gue konfirmasi. Gak bisa di ganggu gugat."

"Apaan sih? Gak gak gak!"

Deva mengangkat bahu sambil tersenyum. Berusaha menggodaku agar aku merasa kesal.

"Gak bisa! Lo udah bilang 'jadi'." Setelahnya ia pergi masuk ke kelasnya. Ugh!!! Sial! Aku bahkan tidak tau apa yang harus ku lakukan terhadap makhluk yang satu ini. Aku hanya bisa pasrah. Menarik nafas panjang. Lalu, menghembuskannya dengan keras. Begitu seterusnya. Pikiranku mengembara. Tidak tau apakah nanti jadi atau tidak. Aku bahkan tidak tau, Deva akan mengajakku jalan kemana. Ugh Tuhan!

DevandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang