20

20 3 0
                                    

Saat aku berbicara dengan Airin, dia bilang kepulangannya di tunda untuk sementara waktu karena keinginannya sendiri yang ingin lebih lama tinggal disini. Katanya, mungkin sekitar dua mingu lagi, baru ia akan pulang.

Kulihat Deva turun dari lantai atas melalui tangga, saat aku tengah sibuk berbincang dengan Airin. Dengan balutan kaos hitam, celana jeans, dan rambut yang memang selama ini terlihat acak acakan, aku akui dia benar benar keren. Dengan sigap aku mengalihkan pandanganku darinya.

Tiit tiit tiit tiit. Suara deringan telepon rumah menggema ke seluruh penjuru rumah. Deva menuju ke arah telfon. Mengangkatnya, dan berbicara sepatah dua kata dengan sang penelpon. Sesekali ia melihat ke arahku, yang membuatku bingung. Ia menutup telepon.

"Dari siapa Dev?" Sepertinya pertanyaan ku terwakilkan oleh Airin.

"Dari...temen." ucapnya dan langsung mengambil jaket namun tidak memakainya. Hanya membawanya dalam genggamannya saja.

"Rin, gue pergi bentar ya. Gue titip Nayla."

"Iyaa. Oke Dev."

"Cha, sini gue mau ngomong." Ajak Deva yang mengajakku ke luar rumah.

"Hm? Bentar ya Rin." Ujarku.

"Kenapa? Emang lo mau kemana?" Tanya ku saat kami duduk di sebuah kursi depan rumahnya.

"Gue...mau pergi dulu."

"Iya, tapi kemana?"

"Yaa ada. Tapi kayaknya gue bakalan sedikit lebih lama deh. Jadi, nanti kalo gue gak pulang, lo gak papa ya pulangnya sendiri dulu. Nanti gue pesenin taksi."

"Kenapa?" Tanyaku.

"Kenapa apa? Lo gak mau naik taksi?"

"Bukan. Bukan itu maksud gue. Kenapa sampe gak pulang? Sampe malem?"

"Kayaknya sih gitu. Tapi gak papa nih ya, lo pulang sendiri dulu." Ujar Deva yang sepertinya memang sudah berniat pulang malam dan tak mengantarku.

"Gak papa kok. Emang urusan apa sih, Dev?" Tanyaku yang masih belum dijawab rinci olehnya.

"Kayaknya gue gak bisa kasih tau deh. Sorry ya."

"Ooh, iya gak papa kok. Yaudah, lo mau pergi sekarang?"

Deva mengangguk.

"Gue udah ditunggu sama temen gue. Gue duluan ya. Ntar malem gue telfon. Gue janji."

Aku mengangguk. Melihat Deva yang menyalakan mesin motornya, dan menghilang lewat di tikungan jalan. Pikiranku masih mengembara. Tentang urusan apa yang sebenarnya Deva lakukan.

"Acha! Makan dulu Cha!" Panggilan Airin membuyarkan seluruh lamunanku.

"Iya."

Sekitar pukul setengah enam sore, aku memang bergegas akan pulang. Sepertinya Deva akan pulang lebih malam dari ini. Tapi aku salah besar. Saat sampai di teras, secara kebetulan sekali, ku lihat sosok Deva dan beberapa orang naik motor di belakanganya. Mereka berhenti di depan pagar rumah. Sejenak melambai. Lalu bergegas pergi. Aku menduga itu adalah teman temannya.

Ia memarkirkan motornya di jarak yang tak jauh dari ku. Saat helmnya terlepas dari kepalanya, kulihat wajah yang kacau. Sudut bibir yang kembali terluka. Pelipis yang berwana biru keunguan. Dan goresan luka pendek di hidungnya. Sesaat aku terkejut melihat perbedaan tampangnya dibanding tadi, saat ia belum pergi bersama teman temannya. Namun tidak lagi, karena mengingat ucapan Siska, bahwa Deva memang 'sering' berantem.

"Eh, udah mau pulang?" Tanyanya. Aku tak bergeming. Deva memperhatikan pandanganku yang sibuk memelototi luka luka di wajahnya.

"Oiii!!!" Sesaat ia membuyarkan fokusku.

"Apasih?!"

"Lah, elo yang apa? Ngapa liatin gue gitu? Yuk gue anter pulang."

"Itu lukanya gimana? Kok bisa gitu?" Tanyaku.

"Hah? Gimana apanya? Gak gimana gimana."

"Ih, serius. Itu kenapa bisa gitu?" Tanyaku yang mulai sebal.

"Iya iya. Gak usah ngode. Nanti gue seriusin kok. Hahaha."

Aku mendengus sekaligus aku menyerah. Dia memang benar benar susah diajak bicara serius.

"Ayo pulang, ntar kemaleman. Rin, gue anter Acha pulang duluan ya. Ntar kalo ada om sama tante, bilang aja gue lagi keluar bentar." Yup, Airin bilang ayah dan ibunya akan datang hari ini.

Aku naik ke atas motor setelah mengucap pamit pada Airin dan Nayla.

"Eh Cha," ucap nya di tengah jalan.

"Hm?"

"Gue lupa."

"Lupa apa?"

"Lupa gak pinjemin lo jaketnya Airin. Gue juga nggak pake jaket. Mana ini dingin banget lagi. Sorry sorry."

"Gak papa kali. Lagian bentar lagi udah nyampe."

"Eh, gue lupa lagi."

"Hah? Lupa apa?"

"Lupa nggak nawarin lo pelukan. Kan dingin. Hahaha. Jarang jarang nih, badboy macem gue, meluk cewek kayak lo. Anak OSIS lagi." Kami sama sama tertawa.

"Ih, kuno deh gombalnya."

"Eh tapi bener ya, seumur umur, gue gak pernah tuh deket sama anak dari kalangan OSIS."

"Hah? Kenapa emang? Ada yang salah emang sama anak OSIS?" Tanyaku.

"Ya nggak salah sih, cuma nih ya, dulu gue mikir, kalo gue deket sama anak OSIS, gue pasti disuruh berpenampilan rapi mulu. Pake dasi, baju dimasukin, sepatu nggak boleh kucel, kancing dipasang..."

"Ya ampun Deva. Itu mah harus kali Dev. Namanya juga sekolah."

"Dev..."

"Apa?"

"Itu mukanya kenapa? Lo abis berantem?" Sudah sedari tadi aku ingin menanyakan hal ini padanya, tapi Deva selalu saja bercanda.

"Oh ini, biasalah."

"Jadi bener? Berantem? Temen temen lo dulu yang nyari perkara?"

Deva menghentikan motornya di tepi jalan.

"Prinsip gue dan temen temen gue, perang gak bakal pecah, kalo mereka gak nyari perkara ke kita. Emang, se simpel itu ya Cha, lo nyimpulin kalo gue dan temen temen gue yang salah?" Aku benar benar tidak menduga Deva akan mengklaim seperti itu tentang perkataan ku barusan. Karena aku memang sungguh tak bermaksud begitu.

"Hah? Bukan gitu Dev. Gue kan nanya doang. Gue gak nyimpulin kalo lo sama temen temen lo kok yang..."

"Ya kalo lo nanya, lo harusnya nanya apa yang sebenernya terjadi, bukan malah nyimpulin hal kayak gitu."

"Ya sorry kalo gue nyinggung lo dan bikin lo marah."

"Gue sama sekali nggak marah. Gue cuma nggak mau kalo lo ngeklaim sesuatu bukan dari apa yang lo tau, tapi cuma dari apa yang sekedar lo pikirin, atau lo liat."

"Iya iya, apapun itu gue minta maaf. Sorry ya?"

Deva kembali memakai helmnya, menyalakan mesin motornya, dan melajukan motornya. Tanpa menjawab ku. Ah, kenapa juga aku harus berkata seperti itu tadi. aku benar benar merasa sangat bersalah padanya. Ugh! Sesampainya di rumah, maksudku di depan rumahku, aku turun dari atas motor. Deva tetap tak berkata apa apa.

"Deva, lo marah ya? Sorryyy..." Ujarku.

"Nggak kok. Udah sana masuk." Meski diucapnya tidak, namun senyum yang ku lihat terpaksa itu, terlukis di bibirnya.

.
.
.
.
Stay nungguin ya<3

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Aug 29, 2020 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

DevandraWhere stories live. Discover now