8

33 9 2
                                    

Sepertinya, hal yang mustahil jika Deva tidak membuatku merasa kesal. Dengan hati hati aku mengobati pipinya yang lebam. Aku bahkan tidak bisa membayangkan sakitnya akan seperti apa. Apalagi luka di sudut bibirnya. Tapi, luka di wajah Riko tadi saat aku lihat, justru lebih parah dari luka Deva. Mungkin benar, seperti yang Siska bilang, cowok di hadapanku ini memang jago berantem.

"Udah Cha. Jangan lama lama." Deva menepis tanganku yang membuatku harus bertanya.

"Kenapa?"

"Nanti lo jadi suka sama gue. Hahaha."

"Dih, kepedean lo. Dasar bulu hidung buaya."

"Sok tau buaya punya bulu hidung. Lo pernah ngupilin emang?"

"Lo juga sok tau, emang buaya punya upil? Hah?"

"Hahaha...udah ah, makan dulu, ntar keburu dingin."

"Tapi itu luka lo?"

"Nanti sembuh sendiri kali."

"Iya ya, kan lo JAGO berantem." Aku sengaja menekankan kata 'jago'.

"Pasti lo tau dari Siska." Aku tak mengangguk. Hanya mengangkat bahu dan meneruskan makan.

Sekitar setengah jam, kami bergegas pulang. Pinggiran jalanan sudah mulai dipenuhi penjual martabak dan cilok. Aroma aromanya menyatu apalagi berhembus bersamaan dengan angin di atas motor. Deva menghentikan motornya tepat di depan rumahku. Rumahku kali ini, terlihat sedikit ramai. Mungkin kedatangan tamu.

"Lo lagi ada demo? Rame banget." Demo demo apaan?!!!!

"Gue gampar lo kapan kapan."

"Hahaha..."

Mendadak sebuah motor menuju ke arah rumahku juga. Motor yang tidak asing. Siapa lagi kalau bukan Kak Revan. Terlihat dia baru pulang dari kampusnya.

"Deva?" Hah? Bagaimana bisa dia kenal sama Deva?

"Hai bang Re."

"Ooh, jadi lo yang sering nganterin Acha pulang? Thanks bro." Keduanya lalu berjabat tangan ala ala cowok macho sambil sempat berpelukan sebentar. Seolah mereka saudara kembar yang terpisah.

"Iyaa bang. Hehe. Em, gue balik dulu soalnya udah malem."

"Iya iya. Ti ati lo. Kapan kapan maen ke sini Dev."

"Siap bang, nanti gue ajak temen temen biar rame."

"Okee sip." Aku hanya bisa menonton percakapan antara keduanya.

"Gue duluan, bang. Duluan... Nung." Argh! Rasanya ingin benar benar mendaratkan pukulan tepat di lukanya. Sialan.

"Sana sana! Pulang!" Usirku.

"Ada siapa kak?" Bisikku saat Kak Revan memasukkan motornya di garasi.

"Nggak tau juga. Tamu ibu atau ayah kali."

"Eh, Cha."

"Apaan?"

"Lo ganti nama? Jadi Nung? Nung siapa sih?"

"Nggak lah. Apaan sih Kak Revan. Sesat lo ikutin omongan Deva!"

***

Kami berdua akhirnya tau siapa yang datang. Kakek, nenek, Ali -anak dari Tante Eli-, dan Tante Eli dari Semarang. Aku langsung memeluk keduanya. Begitupun juga dengan kak Revan. Tidak bisa membendung rasa bahagia karena bertemu lagi setelah terakhir bertemu setahun yang lalu. Ibu juga sepertinya tengah memasak makanan banyak di dapur. Dibantu tante dan nenek. Aku bahkan berani bertaruh, jika kombinasi antara tiga koki terbaik yang aku tau, akan mempersembahkan makanan yang sangat sangat lezat. Kombinasi makanan ala Semarang yang di campur Jakarta, namun cita rasanya masih sangat dapat di rasakan. Tidak langsung bercampur amburadul. Ugh, sepertinya aku harus makan lagi.

DevandraWhere stories live. Discover now