10

29 8 2
                                    

Sosok lelaki yang umurnya sudah sekitar 45 ke atas, memasuki ruang kelas ku. Pak Hadi. Guru bahasa inggris yang terkenal ke-killer-annya. Siapa saja yang bergurau di dalam kelas saat pelajarannya, bahkan hanya mengobrol sekitar satu menit saja, hukumannya tidak main main. Keluar. Tidak usah ikut pelajaran bahasa Inggris selama sepekan. Jadi, wajar saja, jika selama pelajaran beliau berlangsung, tidak ada yang berani main main di kelas. Terlalu serius, menyebalkan, namun di takuti.

Sontak saja semua murid yang tadinya tengah bermain ponsel, mengobrol dengan teman sebangku, dan melakukan aktivitas lain, langsung fokus. Menghentikan kegiatan. Juga memasang tampang serius atau lebih tepatnya tampang siap belajar.

"Assalamualaikum." Ujar guru yang hampir setengah baya dengan singkat.

"Waalaikumsalam, sir." Jawab murid murid serempak. Pelajaran berlangsung seperti biasa. Tidak ada candaan. Tidak ada gurauan. Serius. Seolah tengah ada rapat pejabat. Terlebih lagi, saat bel istirahat berbunyi, tidak ada satupun murid yang berani bersorak hore. Seolah sorakan hore adalah kata yang benar benar dilarang. Sontak saja saat pria hampir setengah baya itu keluar dari kelas, suasana langsung riuh. Seolah kami merasa terbebas dari yang namanya PENJAJAHAN.

"Woaah! Akhirnya!!!" Seru Elvan sambil mengangkat kedua tangannya tinggi yang perilakunya mengundang tawa dari penjuru kelas.

"Kita merdeka guys!!!" Sambung Aldi yang duduk di samping Elvan.

"Akhirnya sang Belanda kembali ke negara ruang guru-nyaaaa!!!" Ujar Tio yang tak kalah heboh. Ketiganya di sebut 'trio bandel' di kelas. Profesi ketiganya hampir sama. Tukang lawak, tukang ganggu murid perempuan, dan tukang nyontek pastinya. Eits,tukang gombal jugaa.

"Gue duluan beli minum ya, lo mau nitip?" Tawarku kepada Keyla.

"Nggak. Gak usah. Thank you udah nawarin. Tapi nih ya, kalo mau nawarin tuh, jangan nawarin minum. Nawarin bakso kek, nasi goreng kantin kek, atau pecel juga boleh."

"Yee lu mah. Ogah kali gue nawarinnya ke lo." Cibirku.

Aku keluar kelas. Hendak membeli minuman dingin di kantin. Tiba tiba sesuatu yang sedikit berair dan terasa dingin, menempel di pipiku. Rasa dinginnya sontak membuat tubuhku refleks kaget. Ternyata seseorang dengan sengaja menempelkan sebotol air mineral dingin ke pipiku. Siapa lagi kalau bukan... Deva.

"Apaan sih lo, Dev? Kampret banget." Kesalku sambil mengusap buliran air di pipiku.

"Hahaha. Gue mau ngomong." Ujarnya. Aku hanya menatapnya curiga. Pasti mau perang lagi. Dasar menyebalkan.

"Lima ratus ribu."

"Hah?"

"Iya ngomong sedetik sama gue, lo kudu bayar lima ratus ribu."

"Dih, enak aja. Gue juga. Lo ngabisin setetes bensin gue buat tebengan, juga lima ratus ribu." Ucapnya tak mau kalah.

"Yaudah yaudah impas. Terus mau ngomong apaan nih?" Aku langsung menanyakan maksudnya.

"Yaa jangan disini dong."

"Mau dimana lagi sih, Dev? Mau di Mount Everest beneran?"

"Yee kalo itu mah, kan udah ada di depan gue. Tuh jidat lo. Hahaha..." Anjirrr. Sontak aku mencubit lengannya yang kemudian Deva langsung sedikit meringis.

"Udah ayok." Ajaknya dan langsung menyeretku entah kemana. Beberapa saat kemudian, langkahnya berhenti di depan ruang perpustakaan sekolah. Otakku seketika menciptakan sebuah tanda tanya besar.

"Lo mau ngapain disini?" Tanyaku yang tidak percaya bahwa Deva benar benar pergi ke perpustakaan.

"Menurut lo? Gue mau ps-an gitu?"

DevandraWhere stories live. Discover now