9

29 8 0
                                    

Aku bahkan tidak bisa membendung tawaku lagi. Humor kakakku sereceh ini ternyata. Aku tertawa semakin menjadi jadi. Apalagi saat mengingat wajah Kak Revan yang tadi berkata dengan sangat percaya diri. Benar benar konyol.

"Jangan  ketawa mulu. Ntar kesambet lo."

"Lo sih. Terus kalo lo duluan, gue sama siapa dong."

"Eits tenang, gue udah siapin soal itu"

"Waah lo yang bayarin gojeknya." Aku semakin tersenyum sumringah.

"Bukan gojek. Tapi tebengan."

"Siapa?"

"Yang nganterin lo semalem."

"Deva? Gak gak gak! Apaan sih Deva mulu. Nggak! Pokoknya gue gak mau." Aku membantah.

"Sekali ini aja sekali ini aja. Besok sama gue. Ya? Ayo dong Cha. Mau ya sama Deva. Gue ngedate loh ini."

"Ya tapi kan..."

"Mau ya?" Matanya di kedip kedip kan seolah ia tengah menunjukkan sisi imutnya kepadaku.

Aku menarik nafas panjang dan menghembuskan ya dengan keras. "Iya iya deh." Pasrahku.

Tin tin!!! Suara klakson motor berbunyi nyaring di luar rumahku. Aku cukup yakin bahwa itu suara klakson motor Deva. Ugh, kenapa dia sudah datang, disaat aku dan keluargaku masih sarapan? Aku menatap Kak Revan. Bibirnya mengisyaratkan kata Deva namun tak bersuara. Segera aku pergi keluar. Ternyata benar. Dia menatapku dengan masih duduk di atas motornya.

"Lo kok cepet banget sih?" Ujarku dengan agak berbisik.

"Hah?" Tapi sial! Dia bahkan tidka mengerti jika bisikan dariku mengisyarakatkan kepadanya agar berbicara pelan pelan. Langsung saja, ia mengeraskan suaranya.

"Rese lo! Ssstt!"

"Kenapa sih? Rumah lo lagi di sadap?" Kali ini ia berbisik.

"Nggak lah. Gila apa lo?!"

"Terus? Lomba ngomong bisik bisikan?" Sumpah. Deva benar benar menyebalkan. Kalian bayangkan saja setiap perkataanya dan tingkahnya.

"Gesrek otak lu emang. Gue serius anjir."

"Terus kenapa sih? Kali ini gue serius juga."

Aku mendengus. Tidak tau harus menjelaskannya bagaimana. Tidak tau juga apakah aku harus menyuruhnya berangkat dulu, tapi aku akan susah mencari angkot. Atau aku harus menyuruhnya sembunyi dulu, agar tidak ketauan?

"Jadi dirumah gue tuh lagi..."

"Kak Acha!!!" Panggil Ali dari teras rumah yang membuat kami berdua menoleh.

"Temennya Kak Acha di suruh masuk!" Lanjutnya. Ugh! Pasti disuruh Kak Revan. Sialan! Deva manatapku dengan penuh tanda tanya. Alisnya meninggi dan dahinya mengernyit.

"Yaudah, ayo masuk aja."

Suasana tengah sedikit ramai. Semua anggota keluarga terlihat tengah membicarakan pekerjaan kakek di desa.

"Buk, yah, nek, kek, tan, dan semuanya. Kenalin ini temen Acha. Deva." Ucapanku memotong semua percakapan yang terjadi. Membuat semuanya menoleh ke arah ku dan Deva.

"Halo, Tante, om, kakeknya Acha, neneknya Acha, tantenya Acha, saya temennya Acha." Suasananya benar benar canggung. Seolah aku dan Deva menghadapi MOS, dan kami tengah berada di hadapan para senior senior.

"Deva ini, yang nganterin Acha kemaren bukan?" Ucap ibuku.

"Iya tan. Kemaren ga sempet nyapa tante, soalnya Acha buru buru." Tunggu tunggu, kenapa dia membawa bawa namaku? Tidak ingin percakapan semakin panjang, dan keluargaku berpikir yang aneh aneh, aku segera mengubah topik pembicaraan.

"Erm, buk, Acha berangkat ya. Ntar telat."

"Gak mau ikut sarapan dulu, Deva-nya?" Tanya ayah.

"Nggak usah yah." Ujarku menjawab pertanyaan yang diarahkan untuk Deva.

"Hust, bukan nanyain kamu, Cha." Nenek sedikit memukul lenganku yang tengah mengambil tas sekolah di dekat nenek.

"Nggak usah, om. Tadi udah sarapan juga kok." Jawab Deva.

"Sarapan sama apa?" Kali ini kakek mulai melontarkan pertanyaan tidak biasa. Bukankah setiap manusia, bisa sarapan dengan apa saja? Kenapa harus ditanyakan coba?

"Hah? Erm, sama...nasi, terus telur, terus ikan tongkol, terus...oseng kangkung." Ujar Deva.

"Telurnya gak di goreng?" Kakek masih memperpanjang pertanyaan.

"Di goreng, kek. Di ceplok. Terus dikasih bumbu garem, sama sedikit lada." Rasanya aku ingin ngakak meski itu di depan keluargaku. Deva berbicara seperti chef ternama. Pake menjelaskan bumbu bumbunya segala. Hahaha...

"Acha berangkat duluuu. Assalamualaikum..." Ujarku dan langsung menyeret Deva cepat cepat keluar.

"Assalamualaikum..." Sambung Deva memberi salam.

"Waalaikumsalam." Ujar semua orang yang nyaris serempak.

***

Aku bahkan tidak pernah menyangka, kalau cowok yang ku kenal seminggu yang lalu hanya karena pesawat kertasnya, bisa mengenal semua anggota di keluargaku. Dulu, saat aku masih memiliki hubungan spesial dengan Reddy, Reddy belum pernah mengenalkan dirinya di hadapan keluarga besarku. Palingan, kenalnya hanya kepada ibu, ayah, dan kakakku.

"Nenek kakek lo, tinggal jauh, Cha?" Tanya Deva saat berjalan di koridor.

Aku mengangguk. "Iya jadi kakek, nenek, tante Eli, sama Ali, kemaren baru dateng, dari Semarang. Terus kayaknya sih, bakalan lebih lama disini. Katanya semingguan gitu."

"Suaminya tante lo?"

Aku mengangkat bahu dan menggeleng. "Nggak tau. Kayaknya sih pisah. Soalnya nyokap udah ga pernah dan ga ngebolehin gue buat nanya nanya tentang suaminya tante. Apalagi di depan tante sendiri."

"Lo beruntung Cha." Kalimat yang nadanya terdengar sangat dalam. Benar benar dari lubuk hatinya. Deva kemudian duduk di bangku di depan salah kelasnya.

"Maksudnya?" Tanyaku yang ikutan duduk di sana.

"Yaa lo beruntung. Keluarga lo lengkap."

"Apaan sih? Emang keluarga lo sendiri gak lengkap? Hah?" Tanyaku.

Deva menggeleng. Wajahnya semakin sayu. Tatapannya tak seperti biasa. Seolah ia tengah mengingat masa masa kelam dalam hidupnya. Seolah ia masuk ke jiwa terpuruknya.

"Nyokap gue udah gak ada."

"Bokap? Masih ada kan?" Kali ini suasananya benar benar serius dan menyentuh.

"Brengsek itu ninggalin gue sama Nayla. Adik gue. Gak tau kemana. Palingan ya juga nyari istri baru. Kalo nggak, mainin cewek di luar sana." Aku bahkan tidak menyangka jika keluarganya sekacau ini. Aku tidka pernah membayangkan apa yang akan terjadi padaku, jika di posisinya. Aku menepuk bahunya pelan. Berusaha membuat Deva tenang.

Matanya yang sedikit berkaca kaca lalu menatapku.

"Udah ah, sana masuk lo."

"Oh jadi ngusir nih ceritanya?" Godaku berusaha menghiburnya.

"Hahaha...udah ah, sana buruan. Ntar masuk, lo telat lagi."

"Dih emang ntar kalo masuk, lo ga masuk gitu?"

"Kan gue jamkos. IPS mah, kebanyakan jamkos."

"Serius? Iri gue sama lo! Gak adil."

"Nasibb broo."

Aku mencibir kesal. "Gue duluan. Annyeong." Ujarku sambil melambaikan tangan.

"Monyongg!!!" Ujarnya dari arah lain yang membuatku lagi lagi mengerutkan kening.

"Cha!!!" Deva memanggil yang membuatku refleks menoleh.

"Ntar pulang sekolah temenin gue!!!"

Aku menghentikan langkahku. "Hah? Kemana?"

Deva tidak menyahut. Namun melambaikan tangan menyuruhku masuk kelas. Lagi lagi aku harus dibuat penasaran.

.
.
.
.
Next chap gais... Jgn lupa vote commentnya. See uuu~

DevandraWhere stories live. Discover now