DAIVA 02

467 33 1
                                    

Mau dilihat berapa kali pun dia harus percaya pada kenyataan. Percaya bahwa pada pagi hari Rabu yang cerah ini dia resmi menjadi murid baru. Tidak perlu melakukan OSPEK ulang yang membosankan, karena dia merupakan murid pindahan.

Ini semua gara-gara sang Papa. Kemarin, setelah pulang dari bertemu dengan para guru, Althan menjatuhkan ultimatum yang paling Daiva benci.

"Papa gak mau tahu, besok kamu pindah sekolah. Jangan kabur kalau gak mau uang jajan papa potong."

Daiva mengerjap mata pelan, begitulah isi ultimatum sang papa. Dia bahkan tidak diberitahu mengenai nama sekolah barunya. Dia baru tahu pagi ini, saat tiba di depan gerbang bersama sang papa. Protes? Tentu saja sudah ia lakukan.

Sayangnya sifat keras kepala yang ia miliki kalah dengan sang papa. Dia cupu melawan si suhu, tentu saja kalah telak.

"AAAAAA!" Bak orang aneh, Daiva berteriak mengundang tatapan aneh pada murid.

Exfard High School, itulah yang tertulis di gerbang. Sekolah yang paling ia hindari selama hidupnya, sekolah yang paling dia benci sayangnya merupakan milik sang papa. Sekolah yang membuat Daiva mengepalkan tangan walau hanya mendengar namanya. Sekarang, dia resmi menjadi murid sekolah itu.

Tidak dapat dibiarkan, ingin sekali bolos. Namun, mengingat ancaman sang papa membuat nyalinya ciut.

"Kenapa harus lo, sih!" Tunjuk Daiva pada bangunan tak bernyawa di hadapannya.

Mendengar namanya saja membuat Daiva uring-uringan, sekarang dia justru menjadi bagian dari sekolah ini.

Daiva mengepalkan tangan, menatap nyalang bangunan besar di hadapannya. Dalam sekali hentakan, Daiva melangkah masuk lebih dalam.

"Dasar ciwi-ciwi jaman now, lihat yang bening dikit langsung teriak." Keributan di depan sana tak kuasa menahan mulutnya untuk tidak mengomel.

Daiva melengos, memilih mengabaikan keributan di lapangan untuk menuju ruang kelasnya.

12 SOSIAL 3, kelasnya yang baru. Tidak perlu repot-repot ke kantor guru, karena papanya adalah pemilik sekolah ini. Bukan sombong, tetapi memang seperti itulah kenyatannya.

"Bad day for me," keluh Daiva begitu melihat papan nama kelas.

Bola matanya menyorot setiap sudut ruangan. Berbeda dari ruang kelasnya dulu, ruang kelas ini lebih moderen. Kursi yang tertata rapi, tembok mulus dan masing-masing 2 AC pada sisi kanan-kiri. Jangan lupa dengan papan tulis spidol dan LCD sesuai dengan kesan kelas ini. Sungguh sesuai dengan reputasinya.

Pandangan Daiva jatuh pada kursi pojok kiri paling belakang, tanpa pikir panjang ia duduk di sana. Masa bodo dengan penempat kursi ini, toh seluruh bagian Exfard High School adalah milik papanya.

Milik sang papa berarti juga milik dirinya.

"Si Jalu dan Dimas ngapain ya?" Pikirannya menerawang pada dua lelaki yang juga bermasalah seperti dirinya.

「PUNAKAWAN」

Wahai para manusia laknat


Bagong
Astagfirullah

semar
(2)

Gareng
(3)

Wakakaka, apa kabar fren?
Kalian kangen gue kagak?
Pasti kangen dong

Gareng
Najis

Bagong
(2)

Semar
(3)

Gareng
Najis kalian, ngetik gratis.

DAIVAWhere stories live. Discover now