Lintas Impian - 27

9 3 0
                                    

Di sepanjang perjalanan pulang, Geisha terus kepikiran akan kata-kata yang ditulis oleh Jo tadi

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Di sepanjang perjalanan pulang, Geisha terus kepikiran akan kata-kata yang ditulis oleh Jo tadi. Tentang mimpi dan pembuktian. Jo benar. Ketika kita berani bermimpi, maka kita juga harus berani untuk membuktikannya. Karena, kata-kata saja tidak cukup untuk dipegang keabsahannya, perlu bukti nyata untuk membuat impian kita menjadi logis, bukan sekadar mimpi yang terlalu tinggi atau terkesan seperti suatu khayalan.

Sayangnya, selama ini Geisha hanya terus melangitkan impiannya lewat kata-kata, bukan pembuktian. Pantas saja, Sintia terkesan menganggap mimpi itu sebagai hal tidak berguna. Karena, kembali lagi, tanpa bukti, mimpi-mimpi itu hanya akan tetap menjadi mimpi, bukan kenyataan.

Saat itu, hari sudah sore. Warna biru di kanvas terluas semesta itu telah berganti warna menjadi jingga kemerahan. Geisha bukan seorang anak indie pecinta langit senja dan segala keindahan filosofinya. Tapi, untuk pertama kalinya, Geisha terpukau dengan corak kemerahan itu.

Tanpa disadari, seutas senyum terpotret di bingkai wajahnya. Geisha pernah membaca suatu kalimat yang lewat di beranda media sosialnya. Katanya, setiap mimpi yang kita impikan, ia akan melambung jauh ke atas sana, menyatu bersama langit. Dan, barang kali, di langit yang begitu indah hari ini, ada mimpi Geisha yang sempat dia kubur tanpa diberi label keabsahan oleh pembuktian.

‘If you brave to dream it, prove it!’

Lagi, kalimat itu terputar bagaikan kaset rusak di pikiran Geisha. Gadis itu yakin, suatu saat nanti, Sintia akan segera percaya padanya, bahwa mimpi yang dia impikan bukan sekadar hal tak berguna. Suatu saat. Iya. Nanti, saat Geisha telah membuktikannya.

Geisha memelankan laju motornya ketika sudah dekat dengan rumahnya. Pelan, pelan, dan semakin pelan, hingga Geisha melihat sosok yang berdiri di teras rumahnya. Geisha memutar kunci guna memberhentikan jalannya mesin dan lantas mencabutnya. Posisi gadis itu masih tetap di sana; di atas jok motor. Sementara, matanya saling bersitatap dengan orang yang ada di depan rumahnya itu.

“Ge.”

“Mo.”

Ujar keduanya bersamaan.

“Kamu ngapain di sini, Mo?”

Pertanyaan retoris, padahal Geisha harusnya tahu apa tujuan Morena kemari. Tentu, untuk menemuinya.

“Aku mau ketemu kamu, Ge.” Dan, Geisha benar. “Aku tahu kemarin pas aku datang, kamu ada di rumah, tapi kamu suruh Aria bilang ke aku kalau kamu enggak ada di rumah. Iya, kan?”

“Kamu tahu dari mana?”

“Adik kamu enggak bisa bohong sama aku, Ge. Dia bilang kejadian yang sebenarnya ke aku.”

Dalam hati, Geisha merenggut kesal. Dia memang salah telah meminta tolong kepada Aria.

“Ge, tolong, aku mohon. Jangan usir aku lagi. Aku mau selesaikan masalah kita. Aku enggak bisa berantem lama kayak gini sama sahabat aku, Ge,” ujar Morena dengan wajah memohon membuat Geisha merasa tidak enak.

Geisha menghela napas. Sejujurnya, dia juga sama seperti Morena, tidak bisa berlama-lama bermusuhan dengan sahabatnya itu. Dia takut, Morena akan benar-benar meninggalkannya.

Tiba-tiba, suara pintu terbuka. Sintia ada di sana, menatap Geisha juga Morena dengan tatapan bingung. “Kenapa kalian enggak masuk? Malah sibuk di luar. Ayo, masuk,” ajak Sintia.

Geisha memalingkan wajahnya dari sang mama. Kilatan kejadian hari itu di mana mamanya terus membandingkannya dengan Morena terputar lagi. Geisha menoleh ke arah Morena, kemudian mengajak sahabatnya itu untuk berbicara di kamar.

“Tante, duluan, ya.”

***

“Aku minta maaf, Ge.”

“Aku minta maaf, Mo.”

Keduanya lantas saling bertatapan saat untuk kedua kalinya dalam hari yang sama, mereka melontarkan kalimat serupa dalam waktu bersamaan. Seolah-olah chemistry keduanya yang telah dibangun sekian tahun terjalin begitu kuat.

“Kamu enggak perlu minta maaf,” sela Geisha cepat saat gadis itu melihat Morena hendak kembali berbicara. “Kamu enggak salah. Aku yang salah karena udah melampiaskan semua kemarahan aku ke kamu yang bahkan kamu enggak tahu apa-apa. Aku minta maaf, Mo. Aku minta maaf untuk kalimat aku yang mungkin menusuk kamu.”

Sementara itu, Morena membiarkan Geisha untuk meluncurkan setiap kalimatnya hingga gadis itu terdiam, tanda bahwa dia telah selesai berbicara. Morena menatap Geisha dalam. Morena mengambil kedua telapak tangan Geisha untuk disatukan, menggenggamnya erat. “Aku juga minta maaf, Ge. Selama ini, aku belum jadi sahabat yang baik untuk kamu sampai-sampai aku enggak tahu masalah yang kamu alami dari dulu.”

Geisha menggeleng. “Bukan karena kamu. Itu karena aku yang berusaha untuk menutupi semuanya. Aku enggak mau ganggu prestasi kamu dengan cerita masalah itu. Aku enggak mau terlihat lemah di mata kamu, Mo. Cukup aku terlihat lemah dan enggak membanggakan di depan mama aku, aku enggak mau ada orang lain yang lihat aku kayak mama lagi.”

Nada bicara Geisha berubah. Begitu rendah. Layaknya seseorang yang tengah putus asa.

“Jadi, kamu mandang aku sebagai orang lain?” tanya Morena yang membuat Geisha memejamkan matanya. Sepertinya, gadis itu telah salah bicara.

"Bukan gitu, Mo, maksud aku—”

Belum selesai Geisha berbicara, Morena langsung menarik gadis itu ke dalam pelukannya. “Jangan pernah mandang aku sebagai orang lain, Ge. Aku sahabat kamu. Semua masalah kamu juga akan jadi masalah aku. Jangan pernah ragu untuk berbagi cerita sama aku. Apa pun itu. Aku enggak bakal anggap kamu lemah, karena kamu adalah sahabat aku yang paling hebat. Oke?”

Morena kemudian mengurai pelukannya dan menatap dalam kedua bola mata Geisha yang sudah berkaca-kaca dan sepertinya sebentar lagi siap untuk mengeluarkan ledakan air mata dari sana. Dan, benar, sesaat setelahnya, setetes air turun dari sudut kanan mata Geisha.

“Kenapa nangis, Ge?” tanya Morena kemudian mengusap bekas jalur yang dilewati tetesan air mata itu, dan tersenyum kecil. “Jangan nangis, nanti mukanya jelek, loh.”

“Mo, aku bukan orang yang baik, tapi kenapa Tuhan kirimin aku sahabat sebaik kamu?”

“Sssstt, kamu orang baik, Ge. Sangat baik. Makanya, aku betah sahabatan sama kamu, kan?”

‘Tapi, kemarin aku sampai marah-marahin kamu, Mo.”

“Marah itu hal yang wajar, kan? Setiap manusia pasti pernah marah sama orang yang ada di sekitarnya. Enggak usah dipikirin, yang terpenting sekarang semua udah baik-baik aja,” ujar Morena.

Bukannya menjawab, Geisha langsung menghambur ke pelukan Morena. “Makasih banyak, Mo. Kamu emang yang terbaik.”

“Morena membalas pelukan itu dan mengusap punggung belakang Geisha dengan lembut. “Jangan pernah menganggap diri kamu sebagai lemah dan enggak baik, ya. Kamu itu adalah sahabat terhebat aku, Ge.”

Sayangnya, pelukan itu tidak berlangsung lama ketika suara gebrakan pintu terbuka terdengar dengan keras. “Ih, Kak Mo dan Kak Ge lesbian. Pake peluk-peluk segala!”

***

1.006 words
©vallenciazhng_

2 Agustus 2022
Re-publish : 6 Desember 2022

Lintas Impian [ Completed ✔ ]Where stories live. Discover now