First Impression

173 10 1
                                    

Nonsense - first impression

Sehari sebelumnya.

Aku meraih handphone yang terus berbunyi sejak tadi. Tertera nama Mas Juan di sana. Ia adalah asisten pribadi dari orang yang baru-baru ini kupanggil Papa lagi.

"Halo, Mas?"

"Mbak, Bapak udah kasih jadwal lagi."

"Lagi? Baru bulan kemaren aku pulang ke Jogja loh, Mas. Masa tiap bulan harus pulang?"

"Nggak, yang ini orangnya sama-sama di Jakarta."

"Iyakah?"

"Iya, nanti saya kirim foto, profil, sama alamat ketemunya."

"Yaudah deh."

"Jangan lupa buktinya ya, Mbak."

"Iya, iya!"

Aku segera menutup telepon dan mencoba merampungkan hal yang tadi sempat tertunda. Menghela napas, rasanya kini aku sudah tak bisa berkonsentrasi dengan kanvas yang baru terisi setengahnya di hadapan.

Baru enam bulan sejak Ibu meninggal, tiba-tiba saja seorang pria tua yang mengaku sebagai Papaku itu datang dan menjungkir balikkan hidupku. Padahal selama ini, aku dan Ibu hidup dengan damai walau tanpanya. Bisa-bisanya ia mengambil alih rumah yang menjadi tempat Ibu menghabiskan usianya dan mengusirku keluar. Lalu berjanji akan mengembalikannya kalau aku sudah menikah.

Tentu tak sesederhana itu. Aku hanya bisa menikah dengan pria-pria yang ia pilihkan. Rasanya sudah seperti cerita sinetron saja.

Lalu hari ini, aku berakhir duduk dengan salah satu anak temannya entah sudah yang keberapa kalinya tahun ini. Tak mudah bagiku mencari alasan untuk menolak semuanya. Salah satunya adalah berpenampilan heboh seperti sekarang agar mereka ilfeel duluan, juga datang terlambat. Tenang, masih ada kiat-kiat yang belum kulakukan dan kusimpan untuk nanti.

"Cafe lattè aja," ujarku.

"Oke." Ia memundurkan kursi dan beranjak menuju counter pemesanan.

Aku melihat sosoknya dari belakang. Ia mengenakan celana jeans robek, kaus polos hitam dengan outer kemeja. Rambut hitamnya sedikit berantakan, tak lupa tindik dan aksesoris yang melekat. Khas anak band. Kudengar ia adalah seorang musisi yang sedang meniti karir di ibukota. Sebenarnya penampilannya juga termasuk baru bagiku. Selama ini, pria-pria yang bertemu denganku berpenampilan rapi dan bersikap ramah. Tentu karena mereka dari kalangan "raden" seperti Papa dan Ibu.

Konon mereka berdua pun bersatu karena perjodohan dalam kalangan, atas stigma darah biru murni harus tetap mengalir. Ah, masa bodoh. Aku tak mengerti tentang hal itu. Toh, mereka tak pernah bahagia.

Aku merobek selembar kertas dari dalam totebag dan menorehkan sketsa selagi menunggu orang itu kembali ke meja dengan pesanan kami. Selain secangkir cafe lattè milikku, ia juga membawa americano dan sepotong New York cheesecake.

"Kamu nge-band kan?" tanyaku setelah ia duduk kembali.

"Um! Kenapa? Gak masuk kriteria?"

Aku tertawa kecil. "Yup! Minimal CEO sih kalo aku."

Ia ikut tertawa lantas menyandarkan punggungnya. "Good luck! Semoga cepet ketemu deh sama CEO-nya."

"Tapi aku penasaran, Pak Brata kan punya perusahaan sendiri. Kok kamu jadi musisi?"

"Wah, ngeri! Sejauh mana info yang lu dapet?"

"Yaaaa, lumayan."

Ia menggeleng beberapa kali sambil menyeruput kopinya. "Gak heran, data KTP aja sekarang banyak yang bocor."

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now