Drive

113 13 1
                                    

Nonsense - Drive


"Gimana, Wir?" tanyaku pada Wira setelah hampir empat hari berkutat dengan salah satu dinding di kafenya.

"Anjir! Keren banget ini sih!" ujarnya sambil meraih handphone dan memotret pemandangan di hadapannya.

"Setuju!" timpal Bima eh maksudnya Mas Bima yang juga berdiri bersama kami. "Gue ambil foto sekalian promosiin juga deh."

"Thanks!"

"Karena hasilnya sebagus ini, aku gak enak dong kalo minta gratis. Jadi, nih!" Wira mengacungkan sebuah amplop berwarna cokelat ke arahku.

"Gak usah, Wir! Lagian aku juga sering numpang ngopi."

"Ambil aja, sih! Lu lagi butuh duit juga, kan?" ujar Mas Bima.

Iya juga, sih. Walaupun Ibu termasuk keturunan 'berada', tapi semenjak kuliah aku sudah bertekad untuk hidup mandiri. Aku bahkan tak tahu berapa banyak harta yang Ibu wariskan untukku karena Papa sudah mengambil alih semuanya.

"Thanks banget ya, Wira," gumamku sambil menerima amplop itu ragu.

"Aku yang makasih, Gis." Wira tersenyum sambil menepuk pundakku beberapa kali. Entah Mas Bima bercerita padanya tentang masalahku atau mungkin tidak. Yang pasti saat ini aku merasa senang.

"Tapi sorry banget, nih. Aku lagi ada urusan. Lu sekarang libur kan, Bang?"

"Iya, gih sono!"

Wira tampak terburu-buru dan setengah berlari menuju parkiran. Aku menyimpan amplop cokelat ke dalam ransel bersamaan dengan alat-alat melukis yang masih berceceran. Sementara sejak tadi aku sudah tak melihat karyawan kafe berada di sini. Karena Wira buka sejak pagi, jadi jam operasionalnya hanya sampai jam sembilan malam. Sekarang, waktu sudah menunjukkan jam sepuluh lebih tiga puluh menit.

"Wira ke sini lagi gak, ya?" tanyaku.

"Nggak kayaknya," jawab Mas Bima sambil membantuku membereskan cat dan kertas koran yang menutup lantai.

"Lah, nanti siapa yang tutup?"

Mas Bima mengacungkan sebuah kunci yang ternyata sejak tadi berada di atas meja. Agak sedikit menyeramkan ternyata kalau berada di sini selarut ini. Tapi, tentu aku berani karena ada Mas Bima.

"Lu kenapa gak ikut pameran aja?"

"Udah."

"Udah?"

"Iya, dua minggu lagi. Temanya kontemporer, susah banget. Aku lagi beresin ini!" jelasku sambil menunjukkan beberapa foto dari handphone ke arahnya. "Bagus, gak?"

"Gak ngerti, tapi menurut gue sih keren."

"Besok mau aku anterin ke tempat pamerannya."

"Ribet, gak?"

"Kayaknya, sih. Soalnya ada yang ukuran 50x70 juga. Mau bantuin?"

"Kalau boleh."

"Boleh banget, dong! Mas Bima tinggal di mana sih? Tenang aja, aku gak bakal tiba-tiba dateng trus gedor rumahnya kok."

Mas Bima tertawa. "Gedung sebelah lu, baru pindah dua bulan yang lalu. Yaudah nanti gue bantu, mana sini nomer HP," ujarnya sambil menyodorkan handphone ke arahku.

"Kalo baik gini nanti aku baper loh, Mas."

"Mending jangan, deh! Nanti ujungnya lu siram gue juga pake kopi."

Aku tersenyum mengingat kejadian waktu itu, lantas mengetikkan nomor handphone di perangkat dengan case berwarna hitam putih seperti papan catur dan mengembalikan pada pemiliknya. "Terima pesan dan panggilan dari Mas Bima 24/7."

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now