Home

84 11 1
                                    

Nonsense - Home

Handphone baru kunyalakan setelah menempuh penerbangan satu jam lebih dari Jakarta ke Jogja. Beberapa pemberitahuan muncul, termasuk panggilan tak terjawab dan pesan-pesan yang belum dibaca dari Mas Bima. Aku segera pergi setelah mendapatkan telepon dari Mas Juan, mampir ke apartemen untuk berkemas sebentar, lalu terbang. Aku juga lari, lari dari kenyataan bahwa Sarah kembali untuk Mas Bima yang mungkin saja masih menunggunya seperti yang waktu itu ia katakan.

"Mas, aku udah keluar gate."

"Saya udah di depan, Mbak."

"Tungguin bentar."

Aku terus berjalan sambil melihat ke sana kemari, mencari sosok Mas Juan yang katanya sudah menunggu. Ia melambaikan tangan saat aku menemukan dirinya berdiri di antara beberapa orang di tempat penjemputan. Tak menunggu lama untuknya meraih tasku dan langsung mengajakku naik ke mobil.

"Lagi ada masalah ya, Mbak?" tanya Mas Juan saat kami mulai melaju meninggalkan bandara

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

"Lagi ada masalah ya, Mbak?" tanya Mas Juan saat kami mulai melaju meninggalkan bandara.

"Kok tau?"

"Maskaranya luntur."

"Hah?" Aku segera menurunkan sunvisor dan menatap wajahku di sebuah cermin kecil. "Mana? Nggak, ah!"

"Mbak tuh kalo abis nangis keliatan, hidung merah, matanya bengkak. Tapi pasti bukan nangisin Bapak, kan?"

"Ngomong-ngomong Papa kenapa? Dia bukannya bohong biar aku pulang, kan?"

Mas Juan tak menjawab. Wajahnya tampak serius dengan kacamata yang hampir melorot. Tidak, dia tak seperti om-om yang kuno dan kolot. Mas Juan beberapa tahun lebih tua dariku, ia juga berdandan layaknya anak muda seperti saat ini; mengenakan celana dan jaket jeans, juga earphone bluetooth di telinganya. Wajahnya sangat menunjukkan identitasnya sebagai koko-koko Surabaya. Ia sudah bekerja cukup lama dengan Papa, dan kemampuannya membuat ia menjadi salah seorang yang sangat dipercaya.

"Mbak tarik napas dulu, ya!" ujarnya membuatku penasaran. Walau begitu, tetap kulakukan. "Bapak sakit jantung, tadi pagi tiba-tiba sakitnya kambuh dan Bapak dilarikan ke rumah sakit."

Aku menatapnya dengan wajah tak percaya. Rasanya selama ini aku tak pernah mendengar apapun tentang Papa termasuk penyakitnya.

"Dokter bilang, karena usia Bapak yang sudah semakin tua, menambah resiko penyakitnya semakin parah. Jadi Bapak pengen ketemu sama Mbak."

Satu sisi, aku sangat marah dan kesal mengingat semua yang Papa lakukan terhadap aku dan Ibu. Tapi, di sisi lain, ia juga Papaku. Setidaknya aku bisa berada di sisinya kalau-kalau ia mau mengembalikan rumahku yang dulu.

"Tapi barusan katanya beliau sedang istirahat dan sudah mulai stabil. Jadi saya anter Mbak ke rumah Mbah aja, ya."

"Iya, Mas."

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now