Going Back

80 10 1
                                    

Nonsense - Going Back

"Nu, kamu pulang aja duluan dianter supir Mas Bima," ujarku pada Dhanu yang sedang duduk di teras.

"Mbak masih lama?" tanyanya sambil terus tersenyum ambigu. Mikir apa ini anak?

"Iya. Duluan aja tapi aku pinjem mobil."

"Anjay, beneran nih aku naik Audi?" serunya penasaran sambil menyodorkan kunci mobil.

"Iya, nanti Pak Tarno anter sampai rumah dengan selamat," jawab Mas Bima yang berjalan menghampiri setelah selesai berbicara kepada supirnya. Dua laki-laki itu kemudian saling pandang dan tersenyum canggung satu sama lain.

"Hati-hati ya, Mbak. Aku bakal lupain kejadian hari ini. Pheew!" ujarnya sambil meletakkan dua jari di dahi seperti sedang menembak kepala sendiri.

"Awas kamu kalo sampe cerita sama Mas Juan atau siapapun!" Aku mengepalkan tangan dan mengangkatnya ke arah wajah Dhanu.

"Gak percayaan amat. Aku pergi dulu, ya, Mbak, Mas!" pamit Dhanu yang setengah berlari memasuki mobil milik Mas Bima.

Kami kembali masuk ke dalam. Ada banyak hal yang harus aku dan Mas Bima bahas hari ini. Sekaligus ingin melepas rinduku pada rumah ini dan wangi Ibu di dalamnya. Seperti melakukan home tour sederhana, aku menunjukkan beberapa hal pada Mas Bima karena sekarang ia masih menjadi pemiliknya secara resmi.

"Ini dapur, trus ada kamar tamu. Kamarku sama Ibu ada di atas. Trus dibelakang ada taman kecil," tunjukku ke arah dinding yang terbuat dari kaca dan menembus ke taman belakang.

Mas Bima mengangguk beberapa kali. Kami lantas berjalan menuju lantai dua. Menaiki tangga yang melingkar dari ruang keluarga tempatku dulu bersantai. Beberapa lukisan saat aku masih sekolah terpasang rapi di dinding sepanjang anak tangga. Mas Bima menatapnya sesekali mendekat sambil mengerjapkan mata.

"Ini kamarku," ujarku sambil membuka pintu pertama setelah sampai di lantai dua. "Sebelahnya studio lukis," tunjukku pada sebuah pintu yang tembus ke ruangan sebelah. Kami berdua masuk ke dalam studio di mana beberapa kanvas baru dan yang setengah rampung tergeletak begitu saja di pojok ruangan.

"Lukisan di pameran kemarin, makasih ya," gumamnya. Apakah ia datang ke sana dan melihatnya?

"Mas liat?"

Ia mengangguk dan meraih kursi untuk duduk di depan easel. "Aku jadi bisa liat sudut pandang kamu pas aku lagi manggung."

Aku tersenyum kecil. Baguslah jika ia melihat kado yang memang kupersiapkan untuknya.

"Kamu aja ngasih tau orang-orang tentang aku, kok aku gak boleh?"

Benar juga. Ya, maksudnya jangan blak-blakkan juga di sosial media gitu. Aku hanya menyunggingkan senyum sebagai jawaban. "Ngomong-ngomong Mas Bima kok ke sini terus, sih? Kan artis biasanya sibuk."

"Udah kubilang kerjaan bisa dicari. Aku bisa nunda kerjaan mana aja asal bisa ketemu kamu."

Wow. Aku belum siap denger Mas Bima ugal-ugalan kayak gini. Ia tertawa kecil, mungkin karena melihat aku yang jadi salah tingkah. Segera berbalik, aku keluar dan menuju kamar Ibu. Kurasa ia juga mengikutiku dari belakang. Kamar Ibu pun masih tampak sama sejak terakhir kali beliau tinggalkan.

"Oh, aku juga punya lemari kayak gini!" seru Mas Bima sambil menunjuk nakas yang berada tepat di samping tempat tidur Ibu. "Di Indo cuma ada tiga, ternyata ada juga di sini."

"Di apartemen?"

"Bukan, yang di rumah. Kalo gak salah ini bisa dibuka," gumamnya sambil membuka laci dan meraba bagian sampingnya, lalu menarik sebuah laci lain yang tersembunyi dari sana.

Nonsense | Young KМесто, где живут истории. Откройте их для себя