See You Again

73 9 1
                                    

Nonsense - See You Again

"Mbak, Dhanu lagi otewe ke bandara. Maaf saya gak bisa jemput, ya."

"It's okay, Mas. Manten gak boleh ke mana-mana. Harus fokus sama acara."

"Maaf saya duluin, Mbak."

"Sopankah tanya begitu?"

Aku dan Mas Juan tertawa. Ia kemudian pamit dan menutup sambungan telepon. Aku duduk di kursi tunggu, masih butuh waktu beberapa menit lagi sampai Dhanu datang. Padahal bisa saja ia menyuruh supir atau aku pulang menggunakan taksi dan transportasi umum lain.

Perjalanan dari London ke Jogja membuatku cukup merasa jetlag. Empat tahun sudah aku melanjutkan pendidikan di salah satu universitas seni ternama di sana dan mulai mengajar setelah memperoleh gelar magister. Selama itu pula aku tak pernah pulang dan hanya memberi kabar pada Mbah lewat Mas Juan. Satu-satunya yang tahu di mana tepatnya aku tinggal dan bersekolah.

Kalau bukan karena undangan pernikahan yang ia kirim minggu lalu, mungkin aku belum mau pulang ke mari. Mana bisa aku tidak hadir di pesta pernikahan orang yang selalu kuandalkan itu. Lalu, besok juga hari pertamaku mengajar di salah satu sekolah internasional di sini. Walaupun hanya sebagai guru tamu karena akan diadakan pameran lukisan tingkat sekolah.

Sosok Dhanu sudah terlihat, aku beranjak sambil menyeret koperku untuk menghampirinya. Ia mengambil alih lalu memelukku sejenak.

"Gimana kabarnya, Mbak?" tanyanya.

"Baik, dong! Kerjaan kamu gimana?"

"Puji tuhan, lancar. Lagi mau buka cabang di beberapa tempat. Apa sih dateng-dateng nanyain kerjaan?" protesnya setelah sadar.

"Mau tau aja kamu rajin apa nggak. Tapi kalo diliat dari mobil barunya sih, aku percaya."

Ia tertawa dan membukakan pintu penumpang sebelah kemudi untukku, lalu menyimpan koperku di belakang. Dhanu mulai melajukan mobil menuju kediaman Mbah. Jalanan dan pemandangan di sini tampaknya banyak sekali yang berubah.

"Mama apa kabar?" tanyaku.

Dhanu menoleh sambil tersenyum. "Baik, Mbak. Sekarang lagi sibuk punya hobi ngurus tanaman. Mbah nyuruh kami tinggal di rumah Mbah, soalnya sekarang udah gampang sakit-sakitan."

"Aku jadi ngerasa bersalah gak pernah nengokin Mbah."

"Tapi Mbah seneng kok tiap baca koran selalu ada aja berita tentang Mbak."

'Selalu ada' terlalu hiperbola untuk aku yang memang pernah beberapa kali diwawancarai untuk media masa di sana dan dalam negeri setelah beberapa lukisanku menjadi salah satu bahan pembicaraan. Aku yang kala itu lari dari masalah, terlalu fokus untuk belajar bahkan tak pernah mencari tahu apa yang terjadi di sini. Aku yang saat itu terlalu pengecut.

Mobil memasuki halaman kediaman Mbah dan berhenti tepat di depan pintu utama. Aku turun lalu menyapa orang-orang yang tinggal di dalamnya termasuk Mbah yang tampak semakin tua. Tubuhnya ringkih, tidak segagah dulu. Ia memelukku sambil menangis. Kami berdua menangis. Aku merasa menjadi cucu yang arogan dan tak tahu balas budi karena tak merawatnya beberapa tahun terakhir. Sedangkan ia masih menganggapku sebagai cucu kesayangan dari anak sulungnya yang telah meninggal.

Mas Juan tentu sedang cuti. Mempersiapkan pernikahannya yang akan dilaksakan minggu depan.  Aku bahkan belum bertemu dengan perempuan seperti apa yang bisa memikat hati lelaki jangkung itu.

"Biarin aja, Nu. Aku mau balik ke Hyarta," ujarku saat Dhanu meminta salah seorang pekerja membawakan koperku ke dalam kamar.

"Nggak akan nginep sini, Mbak?"

Nonsense | Young KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang