Stage

110 12 1
                                    

Nonsense - Stage

"Terima kasih," ucapku pada penyelenggara setelah berhasil mengikutsertakan dua lukisan lagi untuk pameran minggu depan.

Aku menghampiri Mas Bima yang sedang berdiri melihat-lihat beberapa lukisan yang biasa terpajang di gedung gallery ini, lalu menepuk lengannya pelan. Ia menoleh dan tersenyum.

"Udah?" tanyanya.

Aku mengangguk. "Udah, mau makan dulu gak?"

"Yuk!" jawabnya semangat. Sudah kuduga ia lapar karena sedari tadi raut wajahnya terlihat lemas.

Kami memasuki restoran cepat saji terdekat dan segera memesan makanan lantas mencari tempat duduk yang nyaman. Hari ini Mas Bima yang traktir katanya sebagai balasan untuk makanan yang kubawakan beberapa hari terakhir.

"Jadi nanti nikahannya di tempat ceweknya?" tanyaku kembali membahas tentang Wira. Mas Bima bilang bahwa temannya itu akan menikah tiga bulan lagi, jadi ada banyak hal yang harus disiapkan.

"Iya, asli sini sih ceweknya."

"Bagus deh, jadi deket nanti kalo undangan."

Mas Bima hanya mengangguk sambil melahap big mac di tangannya. Buset, mangapnya gede bener.

"Mas Bima kan jomblo, aku juga. Yaudah nanti kita berangkat berdua biar gak ngenes-ngenes amat, mau gak? Siapa tau nanti kita udah jadian."

"Lu masih aja ngebet nikah?"

Aku tertawa. Ya, sebenarnya aku hanya sedang berusaha, siapa tau Mas Bima berubah pikiran dan setuju dengan perjodohan agar aku tak perlu susah-susah mencari uang untuk membeli rumah itu. Sing penting yakin!

"Abis ini mau ke mana?"

Lelaki itu melihat smartwatch di tangan, kemudian mengusap handphone-nya beberapa kali. "Festivalnya mulai jam tiga, karena gue pembuka jadi jam dua kita berangkat."

"Kita?" Ternyata aku hanya dijadikan asisten pengganti saat Wira tidak ada.

"Iya, lu yang nyetir lagi. Nanti gue bagi honornya."

"Oke!" jawabku cepat.

"Trus langsung ke kafe, abis itu ke radio."

"Nanti bawain lagu apa? Cover lagi?"

"Ada lagu gue sendiri, cuma emang belum laku aja."

"Bikin sendiri?"

Mas Bima mengangguk. Wow, ia benar-benar seorang musisi.

"Cuma karena biaya rekaman lumayan mahal, gue gak bisa sembarangan rilis lagu. Gue lebih milih nyambi bikinin lirik buat musisi lain."

Aku menepuk tangan bangga. Pria ini benar-benar memulainya dari bawah. Padahal banyak juga penyanyi yang hanya ingin terkenal walau suara mereka tak terlalu bagus. "Keren banget," gumamku.

Ia tersenyum sambil menunduk. Kalau dilihat-lihat manis juga, kiw, kiw.

Kami melanjutkan perjalanan menuju festival yang berada di salah satu pantai dekat sini. Setahuku di sini memang sering diadakan festival musik. Mas Bima mulai mengantuk di kursi penumpang. Benar kata Wira, ia orangnya 'ngantukan'. Mungkin karena perutnya sudah kenyang juga. Lucu banget sih kayak kucing, kerjanya makan abis itu tidur.

Sesampainya di sana, aku memarkir mobil dan berusaha membangunkan orang di sampingku dengan beberapa tepukan pelan.

"Mas! Mas Bim! Udah nyampe," ujarku, namun tak ada hasil.

Aku mendekat ke arah telinganya lalu menarik napas panjang. "Mas! Woy! Bangun! Kerja!" seruku setengah berteriak hingga ia membuka mata.

"Udah nyampe?" tanyanya dengan suara parau khas orang baru bangun tidur.

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now