Second Encounter

121 10 2
                                    

Nonsense - Second encounter

"Selamat, untuk yang ini sudah oke. Kami tunggu dua buah lukisan lagi," ujar penyelenggara pameran setelah memeriksa salah satu lukisanku bersama kurator yang mereka pilih. Tema kali ini memang agak sulit sehingga membutuhkan waktu penyelesaian agak lama. Walaupun begitu, aku tetap harus mengikuti pameran ini sebagai salah satu cara meningkatkan personal branding-ku sebagai pelukis pendatang baru.

"Terima kasih."

Aku menjabat tangan orang itu lantas berjalan ke luar gedung menuju sebuah kafe untuk membeli satu cup kopi sebelum pulang. Hari sudah semakin sore, lampu-lampu mulai dinyalakan dan menyinari sekitar tempat ini. Baru saja berjalan ke counter, sebuah pemandangan menarik perhatianku. Seorang perempuan yang sedang marah lantas menyiramkan minumannya ke kepala seorang pria.

"Kupikir selama ini hubungan kita spesial! Lo cuma mainin perasaan gue, Bim!" Perempuan itu kini menampar sosok lelaki yang semakin kulihat semakin tak asing.

"Anjing lu, ya!" Ia kini meraih cup lain yang isinya masih penuh, sedangkan lelaki itu hanya terdiam tanpa melawan sedikit pun.

Sebenarnya aku tak mau ikut campur. Tapi, lama-kelamaan kasihan juga Bima harus basah-basahan di cuaca yang sedingin ini menjelang malam. Aku segera beranjak menghampiri mereka yang menjadi bahan tontonan pengunjung lain kafe ini sejak tadi. Sedangkan dari pihak kafe tak ada yang berani memisahkan keduanya.

"Siapa dia, Mas?" tanyaku setelah sampai di meja mereka dengan tatapan bertanya-tanya.

"Elo siapa?" tanya perempuan itu.

"Aku tunangannya!"

Perempuan itu mendengkus tak percaya.

"Bangun kamu! Kamu harus jelasin semuanya sama orang tua kita!" Aku menarik kerah kemeja Bima agar ia berdiri dan mengikutiku berjalan ke luar kafe.

Kami terus berjalan agak jauh sampai aku menemukan sebuah tempat duduk untuk kami berisitirahat sejenak.

"Gis!" ujarnya.

Aku melepaskan cengkeramanku dari kerahnya dan duduk di sebuah bangku depan toko yang sudah tutup, lalu menyodorkan sekotak tisu travel size dari dalam totebag ke arahnya. Ia duduk di sampingku sambil mengelap rambut dan bajunya yang basah beraroma kopi.

"Gara-gara kamu aku gak jadi beli kopi," gumamku.

"Gue gak minta tolong sama lu, kok."

"Harusnya bilang makasih gak, sih?"

"Makasih."

Aku tertawa kecil dan menoleh ke arahnya yang masih sibuk mengeringkan diri. "Bisa-bisanya mandi kopi jam segini."

"Cewek tuh serem ya ternyata," gerutunya pelan.

"Kamu beneran cuma mainin dia?"

"Gue cuma baik sama dia. Tapi dia salah paham. Malah gue yang dimarah-marahin sampe kayak gini."

"Makanya kalo sama cewek gak boleh terlalu baik. Cewek itu gampang baper."

"Ya terus gue harus jahat gitu?" tanyanya sambil mengembalikan tisu ke arahku.

"Gak gitu juga. Ya ... biasa aja. Kecuali emang kamu tertarik sama dia."

"Gue gak tertarik juga, banyak kok cewek yang deketin."

"Siap deh, si paling dideketin." Aku berdiri dan memberi hormat ke arahnya. Tingkat kepercayaan dirinya ternyata sudah melebihi ambang batas.

"Mau ke mana?"

Nonsense | Young KTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang