Still

89 10 1
                                    

Nonsense - Still

"Sejak kapan kamu suka lukis?" tanya Mas Sandy. Benar, kali ini ia yang menang.

Sebenarnya aku sangat ingin pulang sendiri daripada harus menyaksikan dua pria besar saling berhadapan dengan tatapan tajam. Takut banget. Tapi Mas Sandy bilang ia akan melaporkanku pada Mbah kalau aku tak mau ikut pulang dengannya. Ia juga membayarkan alat-alat lukisku. Mas Bima hanya menyandarkan punggung melihat kami tanpa banyak bicara.

"Dari kecil," jawabku singkat.

Aku kurang nyaman berbincang dengan orang yang kaku seperti dia. Entah bagaimana jadinya kalau kami menikah nanti. Aku juga malas untuk menjelaskan lagi hal-hal apa yang kusukai dan tidak pada seseorang. Aku tak mau mulai dari awal lagi.

"Baik, lagu selanjutnya dari Bima Narendra ...."

Mas Sandy langsung memencet tombol radio mencari siaran yang lain. Aku hanya meliriknya sejenak dan kembali melihat ke arah depan.

"Kamu udah lama pacaran sama Bima?" tanyanya tiba-tiba.

"Nggak juga."

"Apa udah putus?"

"Nggak juga."

Ia tertawa kecil. "Trus kenapa kata Pak Atmodjo kamu mau terima lamaran aku?"

"Aku gak ada pilihan lain," gumamku pelan, mungkin akan membuat Mas Sandy tersinggung.

"Apa yang kamu minta?"

"Maaf tapi bukan urusan Mas Sandy."

"Aku calon suami kamu, lho. Lupa?" Ia menoleh sejenak sebelum memutar tuas persneling.

Aku bahkan malas untuk menceritakan masalah keluargaku dari awal lagi, jadi aku memilih untuk bungkam hingga kami memasuki gerbang utama menuju halaman depan.

"Terima kasih udah mau anter aku," ujarku sambil melepas sabuk pengaman dan hendak membuka pintu mobil, namun tiba-tiba Mas Sandy menahan tanganku.

"Lupain Bima. Aku harap kamu bisa lebih cepet terima aku di hidup kamu." Ia lantas membuka pintu lebih dulu dan berjalan untuk membukakan pintu mobil untukku.

Kami berjalan masuk. Mas Sandy membantu membawakan barang-barang yang dibeli tadi menuju kamarku.

"Mas gak sibuk emang?" tanyaku.

"Aku lagi libur, tapi bisa berangkat mendadak kalo tiba-tiba ada jadwal operasi." Ia mencoba berjalan di sampingku dengan kedua tangan yang penuh.

"Abis dari mana?" tanya Mbah yang ternyata tengah berjalan dengan tongkatnya menuju pintu utama. Beliau tersenyum sambil menghampiri kami.

"Abis jalan-jalan sebentar. Mbah mau ke mana?"

"Mau ketemu tamu."

"Saya anter," ujar Mas Sandy yang langsung meletakkan barang bawaannya di lantai dan memapah Mbah dengan cepat.

Habis ini Mbah pasti makin suka sama Mas Sandy. Aku cuma punya waktu tujuh hari agar bisa mendapatkan rumah Ibu kembali. Setelah upacara 'mitung dino' aku ingin pindah dari Jakarta dan tinggal di rumah Ibu saja. Lalu mencari pekerjaan yang ada di daerah sini.

***

***

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now