Sarah

98 11 2
                                    

Nonsense - Sarah


"Sorry ya ngerepotin," ujar Wira sambil menyodorkan satu cup kopi ke arahku. Kami sedang berada di tempat Mas Bima untuk membuat typography yang akan dipasang di pernikahannya nanti. Sementara Mas Bima sedang pergi ke studio dan akan pulang sebentar lagi.

"Gapapa, santai aja. Aku seneng bisa bantu, kok."

"Elisa tiba-tiba banget pengen pake kayak ginian. Seneng banget dia scroll Instagram kamu."

Aku tertawa kecil. Aku memang cukup aktif mengunggah semua hasil karyaku di media sosial. Selain menggambar, aku pun belajar typography karena banyak pula yang memintaku membubuhkan tulisan dalam mural. Tak kusangka calon istri Wira pun menyukai hal itu. Sebenarnya aku juga sudah menyiapkan lukisan mereka berdua sebagai hadiah pernikahan nanti.

"Bang Bima pulang jam berapa, sih?" gumam Wira.

"Katanya satu jam lagi."

"Ngabarin kamu?"

Aku mengangguk. Wira langsung tersenyum. "Hebat kamu, Gis!"

"Apanya?"

"Bang Bima tuh, walaupun muka sama gerak-geriknya buaya banget, dia orangnya susah move on."

"Dari Sarah?"

Wira langsung menutup mulut dan memasang wajah tak percaya. "Dia cerita tentang Sarah?"

"Aku gak sengaja tanya gara-gara Mas Bima bikin lagu tentang dia."

"Dari zaman kita kuliah, Bang Bima ngejar-ngejar dia banget. Tapi ternyata dia lebih milih cita-citanya daripada Bang Bima. Buset, galaunya udah kayak apa."

Aku mengangguk beberapa kali. Sebenarnya ada sedikit rasa tidak nyaman saat mendengar Wira menceritakan hal itu.

"Padahal banyak cewek yang deketin, tapi belum ada yang nyantol. Keliatannya aja genit. Masa mau dipeluk artis cewek dia nolak. Artis loh!"

"Ya emang kamu mau kalo sama artis?"

"Ya kan peluk doang."

"Wah parah nih, Wira."

Wira malah cekikikan. "Maksudnya ya gak apa-apa physical touch dikit, kapan mau punya ceweknya kalo gitu?"

"Dia gak physical touch aja udah kayak buaya, apalagi pelak-peluk sembarangan coba?"

"Siapa yang buaya?" tanya seseorang yang masuk tiba-tiba. Aku dan Wira menoleh terkejut lantas kami bungkam mendapati Mas Bima menyimpan ransel dan duduk di sofa.

"Kok gak telepon dulu minta jemput, Bang?" tanya Wira.

"Kalian pasti sibuk, kan?! Kebetulan Aldo mau anterin tadi."

Aku menyelesaikan coretan terakhir lalu merapikan debu kapur dengan tisu. Selesai sudah typography di papan tulis berukuran sedang itu, kusemprot dengan hairspray agar tak mudah terhapus. Wira mengibas-ngibas udara di hadapannya sambil terbatuk.

"Keren banget!" ujar Mas Bima yang tiba-tiba saja sudah merosot duduk di lantai bersama kami lalu meletakkan dagunya di pundakku.

Aku melirik Wira yang tentu saja sedang menatap kami tak percaya. Setelah kejadian di taman waktu itu, boleh dibilang kami sedang menjalin hubungan. Kami masih menyempatkan bertemu dan berbincang sepulang jadwal Mas Bima. Bedanya, ia akan menggenggam tanganku dengan jari-jarinya yang berisi saat kami duduk di beranda sambil menatap langit berbintang, atau mengecupku sebelum kami berpisah. Lalu aku akan tersenyum seperti orang gila setelahnya.

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now