I Miss You

78 9 1
                                    

Nonsense - I miss you

"Pak, mohon maaf saya tidak bisa ikut serta karena ada keperluan mendesak di Jogja."

"Baik, tidak apa-apa. Terima kasih atas partisipasinya, Mbak Agisti."

"Terima kasih kembali, Pak." Aku mematikan sambungan teleponku dengan penyelenggara pameran. Seharusnya besok aku datang dan menjadi salah satu kontributor untuk satu lukisan besar yang sudah susah payah kubuat dalam waktu sebulan.

Sudah tiga hari aku di Jogja dan tak ada kegiatan. Semua pekerjaanku di Jakarta terpaksa harus dibatalkan. Aku bisa saja kembali ke sana, tapi aku takut bertemu Mas Bima. Aku takut belum bisa melupakan kekesalanku waktu itu. Aku takut aku malah membencinya. Padahal besok adalah hari ulang tahunnya. Ia mungkin akan merayakannya bersama Sarah.

Lalu, tak ada yang bisa kulakukan di sini. Hanya bisa memikirkan semua yang telah terjadi. Tentang semua perjodohan yang selama ini diatur oleh Mbah, bukan Papa. Juga tentang rumah yang belum menemukan titik terang.

Tiba-tiba saja aku membelokkan mobil ke rumah sakit sepulang dari salon agar tak lagi diomeli Mbah. Sesampainya di sana, aku kembali berjalan menuju kamar Papa, namun setelah masuk tampaknya ia tengah beristirahat. Istrinya langsung beranjak saat melihatku. Aku hanya mengangguk pelan ke arahnya dan memilih duduk di salah satu sofa di ruangan sebelah tempat tidur. Ia berjalan pelan lantas ikut duduk berseberangan denganku. Wajahnya selalu menunduk setiap bersamaku.

"M-mau minum apa?" tanyanya. Penampilannya sedikit kusut, mungkin karena seharian penuh menemani Papa di sini.

"Nggak usah," jawabku.

Hening. Di antara kami tak ada yang bicara untuk beberapa saat. Kami masih duduk dengan canggung.

"Maaf," gumamnya memecah keheningan. "Maafin saya." Bahunya tampak bergetar, lalu kedua tangannya terangkat menutupi wajah. "Saya sudah menyakiti kamu dan Mbak Pertiwi. Maafkan saya."

Aku masih ingat saat Ibu menangis diam-diam melihat Papa yang pergi di usiaku yang keempat tahun. Walaupun keluarga besar menentang, Papa tetap pergi memilih wanita ini, meninggalkan semua mimpinya sebagai seorang seniman dan memulai usaha lagi dari nol. Menyerah atas garis ahli waris Mbah Kakung dan memberikannya pada sang adik.

Sedangkan aku hidup berdua bersama Ibu yang membesarkanku dengan sepenuh hati. Meski begitu, keluarga Papa masih begitu sayang dengan Ibu dan membantu dari segi finansial agar beliau tak perlu bekerja dan meninggalkanku di tangan pengasuh. Sedangkan keluarga Ibu yang menyayangkan keputusannya untuk bertahan bersama Papa sedikit menjauh. Ini rumit, sangat rumit untukku yang waktu itu belum mengerti apa-apa.

Lalu kini, wanita yang merebut semuanya sedang menangis dan meminta maaf di hadapanku. Aku jelas tahu semua hal itu tak akan memperbaiki apapun. Tapi rasanya aku lelah, lelah dengan rasa benci yang terus ada. Mungkin mereka pun lelah dengan rasa bersalah yang terus menghantui.

"Aku udah maafin, mungkin Ibu juga begitu," gumamku.

Sedangkan wanita dihadapanku malah menangis semakin sedu. Toh aku sudah dewasa. Dengan melihat ia sudah setia merawat Papa dengan tulus saja sudah cukup membuktikan bahwa mereka memang saling mencinta.

Cinta? Bullshit. Entah mengapa akhir-akhir ini aku sedikit membenci kata itu.

"Ma?" tanya Dhanu yang baru masuk ke ruangan. Ia langsung memeluk ibunya yang masih menangis. Sedangkan di ambang pintu aku melihat pria yang kemarin marah-marah padaku.

"Mama kenapa?"

"Mbakmu maafin kita," ujar ibunya lirih.

'Mbakmu' katanya. Ya, benar. Bagaimana pun Dhanu juga anak Papa. Mereka berdua memiliki raut wajah dan perawakan yang sama.

Nonsense | Young KOnde as histórias ganham vida. Descobre agora