Head over heels

117 11 2
                                    

Nonsense - Head over heels

Aku langsung menyerahkan sebotol air mineral yang kubawa dari rumah pada Bima. Tampaknya ia cukup terkejut mendengar perkataanku barusan.

"Pelan-pelan, Bim."

Ia menenggak air itu hingga terlihat membaik. Lalu apa? Dia kembali melahap semua makanan yang sudah kumasak hingga tak tersisa. Padahal tadi dia bilang sudah makan. Meskipun hal itu ia lakukan karena merasa tidak enak, aku akan tetap menganggap ia menyambutku untuk membalas hal-hal baik yang secara tidak sadar ia lakukan untukku.

Tanganku perlahan terulur untuk menepuk pundak lebarnya beberapa kali sambil tersenyum. "Makan yang banyak," gumamku.

"Makasih makanannya," jawabnya singkat sambil membereskan tempat makan kosong.

"Besok aku masakin lagi mau?"

"Gak usah, nanti lu repot."

"Oke, besok menunya apa yaaaaa?" Aku menatap langit-langit kafe sejenak. Sedangkan pria di sampingku tadi sudah beranjak, mungkin sudah saatnya ia naik ke panggung.

Ini hari kedua aku mendengarnya bernyanyi secara langsung. Sosoknya yang sedang melantunkan lagu itu tampak seratus persen berbeda, bagaimana aku menyebutnya? Indah? Bukankah setiap orang yang sedang melakukan apa yang mereka sukai akan terlihat indah?

"Kamu ada konsep tertentu gak, Wir?" tanyaku pada Wira setelah kafe agak sepi. Kami berdua berdiri di depan dinding yang akan dikerjakan.

"Apa, ya? Berhubung aku suka pemandangan, bisa gak kamu bikin kayak pohon atau ranting-ranting cherry blossom gitu?"

"Okay, got it." Aku mengacungkan ibu jari ke arah Wira dan mulai membayangkan langkah apa yang harus kukerjakan pertama kali.

Tadi siang aku sempat membeli beberapa lembar ampelas agar permukaan dinding jadi lebih halus saat kulukis nanti. Selain itu, karena cat dasarnya berwarna putih, hal itu sedikit memudahkanku untuk langsung maju ke tahap berikutnya. Setelah mengenakan apron dan sarung tangan, aku segera menggosok beberapa bagian dinding. Ternyata mengerjakan ini saja membutuhkan ketelitian dan waktu yang cukup panjang.

Aku menggeser tangga untuk naik dan meraih bagian atas. Kanvas kali ini terasa jauh lebih besar dari yang biasanya. Sulit, tapi aku senang mengerjakannya.

"Hati-hati," ujar seseorang di belakang. Aku menoleh, melihat Bima yang sudah menggendong ransel di punggungnya.

"Cetek begini doang!" Aku menjentikkan jari dan kembali fokus.

Aku cukup pandai dalam hal panjat memanjat, selain karena aku dan Ibu hidup tanpa sosok pria di rumah, semua pekerjaan yang umumnya dikerjakan oleh pria aku pelajari. Bahkan menyetir. Jadi rasanya tak akan mungkin ada adegan aku terjatuh lantas ditangkap oleh Bima seperti dalam cerita drama.

Setelah turun, kulihat Bima masih berdiri sambil melipat tangannya di dada. "Kamu mau siaran, kan?" tanyaku.

"Iya." Ia menepuk bagian depan rambutku hingga butiran debu beterbangan dari sana, mungkin hasil dari gosokan yang sejak tadi kulakukan.

"Aku bilang jangan terlalu baik sama cewek, kecuali kamu emang tertarik."

"Maaf."

"Tapi gapapa, aku akan tetap mencintaimu dengan ugal-ugalan."

Yang ini harusnya diomongin dalam hati aja, bego!

"Lu punya kebiasaan ngomong ngawur, ya?"

Aku hanya membalas pertanyaannya dengan senyuman. Tak lama kemudian Wira muncul sambil menggenggam kunci mobil di tangannya.

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now