Date?

107 10 1
                                    

Nonsense - Date?

Kalian jangan khawatir tentang bagaimana perasaanku sekarang. Buktinya aku masih bisa menjaga kewarasan walaupun Mas Bima sedikit memiringkan wajahnya hingga aku bibsjskdnvzhdklenrhdikenrvhde. Argh! Aku bisa gila!

Samar-samar aku mendengar suara orang mengobrol menuju ke arah kami, hal itu tentu saja membuat kami sadar kalau sedang berada di taman dengan pemandangan sunset di hadapan kami. Tidak, bukan itu masalahnya. Bagaimana kalau orang lain melihat apa yang sedang kami lakukan?

Aku segera mendorong Mas Bima dan menoleh ke arah dua orang security yang sedang berjalan dari kejauhan.

"Udah sore! Kita balik aja!" ajakku lantas setengah berlari kembali ke arah mobil.

Kulihat Mas Bima mengikuti sambil membawa gitarnya dengan berjalan lebih cepat dari biasa. Padahal selama ini ia selalu santai kalau berjalan, seperti putri keraton. Kami lantas masuk ke dalam mobil dengan canggung. Hening. Tak ada yang berbicara di antara kami.

"Balik, kan?" tanyaku sambil menoleh ke arah lain. Malu banget kalau lihat mukanya.

"Hah? I-iya!" jawabnya.

Saking salah tingkah, bisa-bisanya aku lupa bagaimana caranya menyalakan mobil dan malah menoleh ke sana kemari mencari yang tak pasti.

"Nyari apa?" tanya Mas Bima.

"Kunci! Kunci!"

"Itu udah masuk dari tadi," tunjuknya pada kunci yang memang sudah menempel di tempatnya.

"Oh, iya."

Aku mulai melajukan mobil menjauh dari tempat tadi. Habis ini kalau ke sana lagi aku pasti bakal senyum-senyum sendiri seperti orang gila. Suasana kembali hening.

"Kamu lupa belum pake sabuk," ujar Mas Bima. Ah, benar. Please Agisti, lu harus fokus! Tangan kiriku menarik sabuk pengaman dan hendak menguncinya namun tak kunjung masuk. Mas Bima membantu melakukannya dengan memegangi tanganku dan mengarahkannya. Kenapa gak langsung pegang sabuknya aja, sih? Arghhhh! Salto juga nih lama-lama.

Tiba-tiba handphone-nya berbunyi. "Gimana, Wir? Belom beres? Yaudah gak apa-apa. Iya gue masih sama Agisti. Hah? Ya, lagi jalan-jalan aja. Udah, ah!" Mas Bima tampak menutup sambungan teleponnya. Agaknya Wira masih belum bisa menemani Mas Bima.

Aku membelokkan mobil menuju parkiran dan menyimpannya di tempat biasa, lalu segera melepaskan sabuk pengaman dan meraih ransel yang ada di kursi belakang.

"Nanti malem aku jemput, Mas tunggu di lobby aja," ujarku.

Mas Bima menarik tanganku tepat sebelum aku membuka pintu mobil dan keluar. Bisa gak sih berhenti bikin jantungku berasa copot?

"Lupain aja yang tadi, kalo kamu ngerasa gak nyaman."

Aku menatapnya tak percaya. Apa? Lupain? Mana bisa anjir!

"Kalo Mas Bima?"

"Hm?"

"Mas Bima mau lupain yang tadi apa nggak?"

Ia tampak berpikir lantas tersenyum, tapi yang bikin ambigu kenapa harus sambil jilat bibir ya, brengsek! Memang biasanya pun begitu, itu salah satu kebiasaan Mas Bima bahkan saat menyanyi di panggung. Hal itu pula yang membuat para penggemar sering berteriak seperti orang kesurupan. Kalau begini sih bisa jadi aku yang teriak.

"Aku ..."

"Stop!" potongku cepat. "Gak usah dijawab. Itu terserah Mas Bima, aku gak berhak tanya. Yaudah aku balik dulu."

Nonsense | Young KWhere stories live. Discover now