CHAPTER 19

25K 1.7K 12
                                    

Sera merasakan dirinya tenggelam dalam dunia gelap yang pekat dan misterius. Dia merasakan atmosfer gelap yang menyesakkan. Seolah-olah dunia itu sendiri sedang merasakan kesedihan yang mendalam. Seketika mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia berada dimana.

Saat ini dirinya berdiri di atas tanah yang terasa hangat di bawah kakinya. Pemandangan yang membentang di hadapannya seperti lukisan yang diberi warna dengan perasaan yang kuat. Ia terkejut saat melihat pemandangan reruntuhan dan kehancuran tempat yang tidak dikenalnya.

Tubuhnya mendadak kaku. Menyaksikan peristiwa yang berlangsung di depan matanya seperti pengamat yang tidak bisa ikut campur tangan. Ia melihat kekaisaran yang seharusnya megah dan makmur dengan bangunan-bangunan yang menjulang tinggi. 

Kini hancur menjadi puing-puing. Jalan-jalan yang seharusnya penuh dengan kehidupan, sekarang sunyi tanpa suara apa pun. Cahaya yang seharusnya memancar dari jendela-jendela istana dan kediaman. Kini padam dan digantikan oleh kegelapan yang memayungi segalanya.

Namun, yang paling mencolok adalah gambaran langit. Langit yang seharusnya biru dan cerah. Sekarang tertutup oleh awan kelabu yang menggumpal dan cahaya bulan pucat hanya mampu menembus sedikit demi sedikit. Entah mengapa ia bisa merasa kehadiran malapetaka yang melayang di udara. Menyebabkan rasa takut dan keresahan melingkupi setiap sudut.

Saat ia melanjutkan pengamatannya. Ia menyadari ada sosok misterius yang berdiri di tengah-tengah kehancuran ini. Sosok itu memancarkan aura yang menakutkan. Kegelapan seakan menjadi teman dekatnya. Dalam genggamannya, dia memegang pedang besar yang berkilauan hitam. Setiap langkah yang diambil sosok itu menghasilkan runtuhnya lebih banyak struktur yang tersisa. Sebagai tanda penghancuran yang disengaja.

Ia merasakan sedikit getaran di tanah. Seolah-olah dunia itu merespons peristiwa tragis ini dengan guncangan. Dia merasa ancaman yang diwakili oleh sosok misterius ini dan terhuyung mundur dalam ketakutan. Sera tiba-tiba tersentak sadar. Tubuhnya berkeringat dan hatinya berdegup kencang. Merasakan sisa-sisa kegelapan yang ditinggalkan oleh mimpi itu.

"Kenapa aku memimpikan itu lagi."

*****

Di pagi hari yang cerah sinar matahari mulai merambat masuk melalui celah-celah jendela di istana megah. Seperti rutinitas harian yang tidak pernah berubah, Aria, seorang pelayan setia yang telah mendampingi Sera sejak masa kecil. 

Melangkah dengan hati riang ke kamarnya. Ia membawa harapan untuk membangunkan Sera dengan senyuman hangat dan semangat penuh seperti biasanya. Namun, pintu kamar itu terasa lebih berat saat Aria mendorongnya perlahan.

"Selamat pagi, Aria." Ucap Sera dengan layu.

Aria terkejut saat melihat Sera sudah bangun dan melambai padanya, seperti mayat hidup. Kantung mata yang hitam pekat menghiasi mata Sera. Seolah-olah ia tidak tidur selama berhari-hari. Garis-garis kelelahan jelas terlihat di wajahnya. Menciptakan bayangan kegelapan yang bertentangan dengan cahaya pagi yang mengisi kamar.

"Yaampun, Nona. Apa anda tidak tidur semalam?"

Aria berjalan mendekati tempat tidur dengan perlahan, perasaan cemas melintas di benaknya.

Sera terkekeh pelan, "Aku tidur sebentar, kok."

"Anda tak mungkin seperti ini jika anda benar-benar tidur dengan baik, Nona."

Sera menghela nafas lelahnya. "Kau benar, aku tak akan seperti ini jika mimpi itu tak muncul." Bisiknya.

Aria mengerutkan keningnya, "kau bilang apa, Nona?"

"Ah, tidak." Elak Sera. "Kau siapkan saja pemandianku. Aku harus ke tempat Latihan kesatria."

"Apa anda akan kembali berlatih, Nona?"

The Conqueror of Blades and HeartsWhere stories live. Discover now