CHAPTER 37

16K 1.2K 3
                                    

Setelah kejadian mengerikan yang terjadi di Hutan Eldermyst. Sera tak mampu lagi menopang kekuatan yang begitu besar pun akhirnya jatuh pingsan. Hingga tak sadarkan diri.

Selama beberapa hari. Ketika kesadarannya akhirnya kembali. Ia menemukan dirinya terbaring lemah di kamarnya.

Setelah tubuhnya berangsur pulih pun. Ia tetap disuruh untuk berdiam diri di dalam kamar dan tak boleh bergerak sama sekali. Sebenarnya Sera muak selama beberapa hari itu.

Ia hanya berdiam diri di dalam kamar. Namun, Ardan serta keluarganya terus melarangnya untuk bergerak. Alhasil ia hanya bisa pasrah dan menurutinya.

Jika diingat-ingat setelah ia menerima Wrath of Ancients pun, ia tak pernah mengeluarkan kekuatan itu. Dan saat itu untuk pertama kalinya. Ia mengeluarkannya tanpa ia sadari. Ardan bilang jika keluarnya kekuatan itu.

Akibat amarahnya yang tak bisa ia kendalikan. Hingga amarahnya itu mengalir ke pedang tersebut dan refleks mengeluarkan kekuatannya.

Jadi, bisa di bilang kekuatan itu keluar tanpa sengaja olehnya. Tapi di satu sisi lainnya, ia beruntung bisa menyelesaikan masalah dalam kompetisi tersebut.

Menurut Rowan, saat masalah itu selesai semua orang yang selamat hendak mengucapkan terima kasih padanya. Namun, hal itu di larang oleh Ayahnya akibat dirinya yang tak sadarkan diri.

Pagi itu, ketika untuk pertama kalinya Sera keluar dari kamar setelah pulih. Dengan di temani oleh Rowan dan Aria. Mereka memasuki aula megah di dalam mansion keluarganya. Seketika kedua mata Sera membelak dengan sempurna.

Di hadapannya terhampar deretan hadiah-hadiah yang menggunung. Tersebar rapi di seluruh ruangan. Setiap paket dan bungkusan mengeluarkan pesonanya.

"Kakak lihat hadiah-hadiah itu. Wah, aku iri melihatnya." Ujar Rowan dengan tatapan tak percaya.

"I-ini, untukku semua?" Tanya Sera dengan matanya yang tak lepas dari hadiah-hadiah tersebut.

"Ya, itu untukmu semua. Mereka yang telah kau selamatkan saat itu. Mengatakan jika ini adalah tanda terima kasih dari mereka padamu. Karena telah menyelamatkan mereka." Sahut Raven begitu melihat putri sulungnya menatap hadiah tersebut.

Dia pun menghampirinya. Berdiri dengan kedua tangan yang dilipat di depan dada. "Bahkan kekaisaran pun berencana akan mengadakan pesta atas jasa dirimu. Bisa-bisa saat itu. Para bedebah itu mengabaikan permintaan kita untuk mengirimkan bala bantuan. Rasanya aku ingin menghancurkan kekaisaran ini. Jika kau tak kembali sadar. Untung saja, adikmu menahan ayah."

Sera mengalihkan pandangnya pada sang ayah. Begitu ia merasakan usapan lembut pada kepalanya. "Ayah minta maaf atas perkataan dan perbuatan ayah saat itu."

Sera kemudian menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak, ayah. Ayah tak perlu meminta maaf. Aku mengerti mengapa ayah melakukan itu. Karena ayah tak ingin aku terluka. Hanya saja aku tak bisa berdiam diri melihat banyaknya korban jiwa yang berjatuhan. Jika aku tak membantu, bisa-bisa monster itu menyerang ibukota."

"Tetap saja, ayah rasa perlu meminta maaf padamu. Dan terima kasih telah membantu."

Sera tersenyum lembut sembari menganggukkan kepalanya. Ia kembali menatap hadiah-hadiah tersebut. Seketika ia teringat pada Ardan. ia kemudian menatap sekitarnya. Sudah dua hari, ia tak melihat Ardan di mansionnya. Apa pria itu sudah kembali tanpa mengucapkan sesuatu padanya.

"Ayah, apa kau melihat Ardan? sudah dua hari aku tak melihatnya." Sera menatap ayahnya bingung

"Maksudmu, pria berambut panjang itu?" Tanya Raven dengan mengangkat sebelah alisnya.

Sera mengangguk dengan cepat. "Entahlah, Ayah tak mengetahuinya. Dia selalu keluar masuk mansion ini sesuka hatinya. Saat ayah bertanya, siapa sebenarnya dia. Dia malah menyuruh ayah untuk bertanya saja padamu. Ayah tak tahu, kau bertemu dengannya dimana. Tapi ayah tak menyukainya."

Sera mengerutkan keningnnya seketika. "Ayah tak menyukainya. Tapi tak mengusirnya juga."

Raven menghela nafasnya pelan. "Ya, ayah mengakui jika ayah tak menyukainya. Tapi, meski begitu berkat dia juga. Kau bisa pulih secepat ini."

Sera terkekeh. "Ah, ada beberapa surat untukmu."

Raven seketika menyerahkan beberapa surat dengan cap stempel yang berbeda.

Sera mengerjapkan matanya saat melihat setumpuk surat-surat tersebut. Ia kemudian mengalihkan tatapannya pada sang ayah. "Apa aku juga harus menerima undangan pergaulan kelas atas itu?"

"Jika kau tak ingin datang. Willem akan mengirim surat penolakan untuk undangan tersebut." Raven kemudian menyerahkan setumpuk surat tersebut pada Willem yang sedari tadi berdiri di belakangnya.

Seketika mata Sera teralih pada Willem yang menerima undangan tersebut sembari tersenyum kecil. "Biar aku saja yang membalas surat-surat tersebut." Sera kemudian mengulurkan tangannya pada Willem.

"Kemarikan, suratnya." Ujar Sera.

Willem seketika mengerjapkan matanya beberapa kali. Sebenarnya dirinya senang, saat nonanya akan membalas sendiri surat-surat ini. Karena akhirnya bebannya sedikit berkurang.

Namun, saat matanya beralih pada Grand Duke Ravenscorft. Dia tersenyum tipis. Pasalnya tuannya tersebut menatapnya dengan tajam. Seketika dia menelan ludahnya dengan susah payah.

"Haha, Nona Sera. Biar saya saja. Anda kan baru saja pulih. Jadi, biar saya yang mengerjakannya."

Sekilas alis Sera terangkat sedikit. Dia menarik kembali tangannya yang terulur pada kepala pelayan keluarganya tersebut. "Ya, jika itu maumu. Terserah kau saja." Sahut Sera.

Willem seketika tersenyum kecut. Dirinya masih ingin hidup. Jadi lebih baik menuruti keinginan tuannya saja.

"Aku akan berkeliling mansion ini dengan Aria." Ujar Sera sembari menatap sang ayah. Seolah meminta ijin.

"Aku ikut." Sahut Rowan dengan cepat. "Aku ingin menemani, kakak hari ini."

"Kau harus berlatih pedang dengan Cedric, Rowan." Raven seketika menatap Rowan yang mengangkat sebelah tangannya.

Rowan yang mendengar itu seketika terlihat murung. "Padahal aku ingin bersama kakak hari ini."

"Kau bilang ingin berlatih pedang. Agar bisa melindungi kakakmu. Tapi sekarang kau ingin membolos dari kelasmu." Rowan seketika menghela nafasnya.

"Baiklah, ayah."

Sera yang melihat hal itu hanya menggelengkan kepalanya pelan. "Bagaimana jika aku melihat kelasmu?" Tawar Sera.

Rowan pun menoleh dan menatap antusias pada Sera. "Kakak serius?" Sera kemudian mengangguk.

"Baiklah, aku akan berlatih pedang dengan sungguh-sungguh."

Raven, memandangi kedua anaknya dengan senyuman yang penuh kehangatan dan kelegaan. Hatinya dipenuhi rasa syukur karena seminggu lalu. Saat peristiwa dramatis itu terjadi. Putranya tidak mengalami sedikit pun luka.

Tak hanya itu, putri sulungnya yang berjasa atas kejadian tersebut pun. Kini telah bangun dari keadaan tak sadar dan kembali pulih. Raven tidak dapat menyembunyikan rasa senang dan bahagianya saat melihat putri sulungnya telah sehat.

*****

Di Hutan Eldermyst, Ardan berdiri di tengah kerumunan bangkai monster yang tergeletak dengan wajah serius. Sebenarnya selama ia merawat Sera. Jika ada waktu luang. Ia pergi ke hutan ini untuk melihat sendiri penyebab dari peristiwa tersebut. Karena menurutnya ada sesuatu yang terasa janggal.

Seketika itu juga, mata Ardan tertuju pada salah satu bangkai monster. Pandangannya terfokus pada bola mata monster yang terbelak. Mengeluarkan aura aneh yang tak biasa. Ardan memandang dengan ketajaman. Mencermati setiap detail yang terlihat berbeda.

Apa orang itu penyebab ini semua. Batinnya

*****

Namratsr | Na


The Conqueror of Blades and HeartsOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz