Chapter 19

791 74 0
                                    


~ Kilas balik ~

"Jadi akhirnya kalian sudah memilih..." Kata seorang anak laki-laki pucat enam belas tahun.

"Tidak Beam. Nak, dengarkan aku.." Seorang pria berjas hitam mendekatinya.

Beam mundur selangkah dan berbalik.

"Sayang... Tolong dengarkan..." Kali ini suara wanita mendekatinya namun dia kembali menarik langkahnya.

"Aku benci kalian... Kalian memilih berpisah, memilih meninggalkanku tanpa orang tua, memilih bercerai tanpa memikirkan aku... Aku tidak akan pernah masuk rumah ini lagi... Aku tidak akan pernah menelponmu lagi.... Mulai hari ini dan seterusnya aku akan hidup sendiri karena aku ingin hidup bersama kedua orang tuaku tapi mereka tidak menginginkanku..." Dengan itu, Beam berlari ke kamarnya, mengemasi pakaiannya dan meninggalkan rumahnya tanpa pamit kepada orang tuanya.

Ayahnya menghentikannya sejenak.

"Aku mencintaimu lebih dari siapapun dalam hidup ini, tapi keputusan ini adalah yang terbaik bagi kita. Tapi ingatlah selalu satu hal.. kau adalah putraku satu-satunya, aku akan mengawasimu, dimanapun kau berada, aku akan tetap membiayai semua kebutuhan mu, aku akan tetap menyimpan nomor telepon yang sama sehingga kapanpun kau membutuhkanku, kau bisa menghubungiku. Kejar impianmu untuk menjadi dokter. Tinggal bersama pamanmu Mark sampai kau terdaftar di universitas, Phana akan ada di sana untuk melindungimu... ingat satu hal, kapanpun kau ingin aku datang, aku akan datang. Dan yang terakhir Aku mencintaimu lebih dari siapapun." Dengan itu ayahnya memeluknya dan memberikan ciuman panjang dan kebapakan di keningnya.

Ayahnya menyisir rambut dari jarinya dan mencubit hidungnya.

"Berbahagialah dimanapun kau berada." Ujarnya.

"Ibu sangat mencintaimu sayang.. Kau hanya butuh waktu... Kau pasti bahagia dan dicintai semua orang... Aku sangat mencintaimu, sayang... Berbahagialah..." dia menutup kata-katanya dengan ciuman penuh kasih sayang pipi Beam.

Air mata Beam sudah mengalir deras. Tapi dia tidak berkata apa-apa kecuali satu kalimat....

"Aku benci kata cinta" Dia pergi membuat orang tuanya terdiam.

"Apa menurutmu dia akan baik-baik saja?" Tanya ibunya, memeluk suaminya.

Ayahnya memeluk tubuh kurusnya dan mengangguk.

"Dia harus pergi Sherly. Kalau tidak, dia akan berada dalam bahaya di sini."

"Apa menurutmu perceraian palsu kita ini akan membuatnya hancur?" Tanya ibunya lagi.

Ayahnya menggelengkan kepalanya.

"Orang yang tepat akan mampu meruntuhkan semuanya."

"Apa menurutmu ayah Phana mampu menjaganya tetap aman?"

"Ku harap, sayang. Aku hanya menanamkan ide di benaknya, mau tinggal di mana... itu keputusannya. Dan aku tahu Anakku.. Dia akan melakukan apa pun yang aku katakan padanya pada akhirnya. Dia sangat mencintaiku sehingga keinginanku akan menjadi perintah untuknya."

"Tidakkah menurutmu kita terlalu banyak menyakitinya? Tanya ibunya lagi.

"Ini demi kebaikannya, Sherly." Ayahnya berkata dengan wajah tabah.

"Bukankah kita punya pilihan lain?"

"Dia tidak akan meninggalkan kita jika kita memintanya secara langsung." Jawab ayahnya.

"Apa menurutmu dia akan menghubungi kita di masa depan?" Ibunya menanyakan semua keraguannya karena dia tahu mulai sekarang dan seterusnya mereka akan benar-benar berpisah.

"Dia akan meneleponku suatu hari nanti ketika dia sangat membutuhkanku." Balas ayahnya dan menangkap bibir istrinya hanya untuk meredam emosinya sendiri, agar dia tidak menangis.

Sherly menyeka air matanya yang sudah membasahi pipinya dan tersenyum.

"Pergilah sebelum aku berubah pikiran, Tuan Ronald Baramee Vongviphan."

..

..

..

Beam sedang duduk tak bernyawa di kursinya menatap wajah Forth, merasakan sakit yang diderita Forth saat ia mendapat memar itu.

"Tidak ada yang bisa menyakitimu tanpa kemauanmu sampai itu berhubungan denganku, kan?" ujar Beam pada Forth yang tidak sadarkan diri.

Seseorang meletakkan tangannya di bahu Beam membuatnya membeku di tempatnya.

"Ayah..." bisik Beam tanpa menatap mata hanya dengan sentuhannya.

Dia berdiri dan melemparkan dirinya ke pelukan ayahnya. Ayahnya melingkarkan lengannya yang kuat ke tubuh putranya dan mencium rambutnya.

"Aku merindukanmu..." Ujar Beam.

"Aku juga merindukanmu sayang..." Ayahnya tidak bisa menahan suaranya yang serak.

Tentu saja wajar untuk bereaksi seperti ini karena sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu... setidaknya, kita bisa mengatakan ini dari sisi Beam.

Ayah Beam menariknya menjauh sedikit untuk melihat wajah putranya yang berharga. Namun Beam kembali memeluk ayahnya karena ia sangat membutuhkan sentuhan seseorang.

Dia gemetar karena isak tangis.

"Kenapa terlalu sulit... hiks... Kenapa dia memanfaatkan ayahnya...hiks.... Dia menyakiti Forth-ku... Dia menyakitiku...hiks.... Dia melukai harga diriku... Kau tahu Forth tidak bisa berbuat apa-apa karena ..hiks... ayahnya... dibelakang punggungnya... Aku butuh Ayah untuk melindungiku.. Untuk melindungi kami... Ayahnya mendukungnya.. Tapi ayahku tidak bersamaku... Kenapa kau meninggalkanku? Aku takut... kehilangannya.... Lihat... Lihat wajahnya... Aku mencintainya Ayah... Sungguh.. Tolong selamatkan dia... hiks... "

Ronald menyuruh Beam menenangkan diri... Dia mendengarkan setiap keluh kesah putra semata wayangnya.

"Maafkan aku sayang... Aku sedang menunggu amarahmu mereda."

Beam menatap ayahnya dan Ronald menanamkan ciuman di keningnya sambil mencubit hidung sambil menyeka air mata. Dia menutup matanya untuk menekan amarahnya dengan rahang terkatup dan gigi terkatup.

"Ayah selalu ada untukmu... untuk Forth... Ayah sedikit terlambat hari ini... Maaf Sayang... Tak seorangpun dapat menyentuh bayiku dan Forth-nya. Biarkan aku menanganinya. Mereka perlu tahu betapa buruknya menyentuh satu-satunya pewaris Jendral Ronald Baramee Vongivphan, Mentri Keamanan Nasional."

.

.

.


DATING THE COLD HEAD HAZER [END]Where stories live. Discover now