• satu •

6.3K 667 53
                                    

AKU memandangi dari balik pintu ketika seorang perempuan yang tampak payah memberikan sesuatu pada Adit. Setelah perempuan itu pergi, aku menghampiri Adit dan berjalan bersisian dengannya.

"Siapa?"

"Entahlah, dia bilang tetangga sebelah. Memberikan puding dan satu set kartu permainan."

Aku ber-oh ria. "Permainan apa?"

"Werewolf," jawab Adit enteng, dia meletakkan puding di meja dapur dan memotongnya asal. "Mau bermain?"

Aku menimbang sebentar, kemudian mengangguk. "Ya, bolehlah. Dari pada kita kehabisan permainan malam ini. Kebetulan besok libur dan teman-teman sedang menginap."

Adit tersenyum lebar, lalu melangkah mendahului ke arah ruang tamu tempat teman-teman kami sedang mengadakan pesta rumah baru untuk kami. Aku dan Adit adalah kakak beradik yang cukup akur. Kami sering bermain bersama karena perbedaan usia yang tidak cukup jauh.

Begitu masuk ke ruang tamu, aku melihat Rista, Herra, dan Brenda duduk melingkar sambil mengobrol. Di sisi lain, ada Damai dan Difa yang sibuk dengan ponselnya. Lalu, Jira yang memandang ke luar jendela dengan aneh. Kuputuskan untuk menghampiri Jira.

"Dor!" kataku mengagetkannya.

"Tika!" sentak Jira kesal dan raut khawatir terlihat di wajahnya. "Kenapa mengagetkanku? Kamu tahu aku sangat mudah terkejut."

Aku tertawa. "Kamu terlalu sibuk melamun. Ada apa?"

Dia menarikku ke sofa, lalu memegangi kalung berbentuk salib yang menggantung di lehernya. "Aku merasa tidak nyaman. Sepertinya sesuatu yang buruk akan terjadi."

"Maksudmu?" tanyaku dengan sedikit bingung. Jira memang sedikit terlalu paranoid.

"Entahlah. Aku mungkin sebaiknya pu--"

"Ayo bermain werewolf!"

Aku menengok mendengar suara Adit yang berisik, seketika kulempar bantal ke wajahnya. "Adit, jangan berteriak!"

Adit menghindar dari lemparanku. "Ayo, Tik, Jir, kami sudah mulai membagikan kartu peran. Kurang dua orang."

Aku memandang Jira yang sedang menggigit bibirnya dengan ragu, lalu perlahan dia mengangguk. Setelah mendapat persetujuannya, aku menarik tangan Jira agar duduk melingkar di antara yang lain.

"Tik, jadi moderator, ya? Aku ingin ikut bermain," kata Adit sedikit memaksa.

Sebuah lirikan sinis kuhadiahkan padanya. Namun, aku tetap mengiyakan. Kuambil secarik kertas dan pulpen, kemudian kembali duduk melingkar. Dapat kulihat Jira dan Adit sudah menerima sisa kartu peran tadi.

"Baiklah, malam tiba. Semua pemain menutup mata. Yang perannya aku sebut, silakan buka matanya," kataku memulai permainan. "Werewolf buka mata."

Dua pasang mata terbuka. Mata milik Damai, temanku yang memiliki senyum licik dan berambut pendek dan milik Fian, laki-laki berbadan tegap dengan kulit kecoklatan dan sifat jahil. Mereka mengunci tatapan seolah merencanakan sesuatu. Aku tersenyum kecil.

"Tutup mata," kataku lagi. "Seer, buka matanya," ucapku dengan tenang dan terbukalah mata Jira yang masih sedikit khawatir. Aku mengangguk, menulis namanya dan kemudian tersenyum mencoba menenangkan.

"Cursed buka matamu," kataku lagi. Brenda membuka matanya dan tersenyum manis, aku menulis nama lagi di kertas. Kenapa perannya sangat banyak?

"Guardian, buka mata."

Mata indah milik Oki terbuka, aku sedikit tersipu melihatnya. Dia memang cocok menjadi Guardian karena sikapnya sangat manis. Ah, haruskah aku terhipnotis saat ini? Aku menggeleng kecil dan kembali melanjutkan.

"Hunter selanjutnya, buka mata."

Bima membuka matanya dan tertawa tanpa suara, memberiku isyarat sebuah tembakan. Aku tersenyum kecil dan menggeleng.

"Gunner?"

Difa membuka matanya. Aku mengangguk, di antara yang lain, memang aku paling tidak begitu mengenal Difa.

"Cupid, buka mata dan sebutkan siapa yang kamu pilih," kataku sambil membaca sedikit penjelasan mengenai peran yang diberikan di kotak kartu utama.

Juna membuka matanya, sepasang iris coklat muda terlihat. Dengan isyarat, dia menunjuk Jira dan Difa sebagai pasangan. Aku tersenyum lebar. Sepertinya semua akan menyenangkan, ketika Seer dipaksa mati jika Gunner mati, begitu pun sebaliknya.

"Terakhir, Traitor buka matamu," kataku tanpa melihat. Aku sudah tahu jika Adit memegang peran sebagai Traitor, si pengkhianat. Dan aku berani bertaruh dia sangat menyukai peran ini.

Berarti tersisa Eka, Rista dan Herra yang merupakan warga desa biasa. Pasti Rista dan Herra jengkel dengan perannya saat ini. Aku tersenyum.

"Baiklah, aku sudah selesai mencatat semuanya. Silakan buka mata kalian dan mulai bermain. Pagi hari tiba dan kalian berdiskusi siapa yang akan kalian gan--"

"Sebentar," potong Juna tiba-tiba. "Di aturan permainan tadi, kita harus menaruh setetes darah kita di dalam mangkuk berisi air sebelum benar-benar memulai permainan."

Jira menggeleng keras. "Apa-apaan? Aku tidak ingin melakukannya."

Fian mendecak keras. "Ayolah, nanti semakin larut malam. Cepat lakukan. Aku senang dengan peran ini."

Adit menengahi ketika Jira hampir mengeluarkan suaranya lagi. Dengan isyarat, dia meminta kami menunggu dan berjalan ke belakang. Aku memandang Jira dengan tatapan menenangkan, berusaha membuatnya merasa nyaman.

Jira menggeleng, kerutan di dahinya muncul. Aku mengusap lembut tangannya. Bisik-bisik mulai terdengar dari Rista dan Herra. Mereka memang sedikit terlalu suka menggosip.

"Baiklah, kita mulai," kata Adit sambil menaruh mangkuk di tengah meja. Ia mengambil jarum, membakarnya hingga steril, lalu menusukkan jarum itu ke jarinya.

Setetes darah pun ia jatuhkan ke dalam air. Setelah itu, dia menyerahkan jarum itu pada Juna yang melakukan hal serupa dengan Adit, dan seterusnya hingga sampai di Jira. Jira memandangku sekilas sebelum melukai jarinya.

Aku mengangguk, kemudian Jira menusuk jarum itu perlahan ke jari tengahnya. Kemudian, dia menyerahkan jarum itu padaku yang langsung kuterima. Aku tidak ingin membuang waktu. Kuambil jarum itu dan kutusukkan jariku.

"Jangan lupa kata-kata di kertas, Tik," kata Adit mengingatkan lagi.

Aku mengangguk, lalu berkata, "Permainan ini mengikat, dan aku akan menjadi Tuhan dalam permainan ini."

Setelah mengatakan itu, tiba-tiba tubuhku terasa bergetar. Keringat dingin menderaku dan membuatku kesakitan, aku ingin berteriak tapi suaraku tertahan di tenggorokan.

"Tika? Tika!"

Aku membuka mataku susah payah dan menyadari bahwa ruangan di sekitarku gelap. "A--ada apa?"

"Sepertinya tadi mati listrik, Oki dan Eka sedang memeriksanya kalau-kalau terja--ah, nyala!"

Lampu kembali menerangi seluruh ruangan. Aku menarik napas lega, kemudian mengusap dahiku yang berkeringat. Detak jantungku belum lagi normal. Namun, aku berusaha tetap bersikap biasa saja.

"Bisakah permainan kumulai?" tanyaku dengan senyum.

Semua mengangguk, menatapku bingung. Aku pun bingung, kenapa tadi yang keluar seperti bukan suaraku?

"Aku beri waktu dua menit untuk memutuskan, siapa yang akan kalian gantung," kataku lagi, meski aku sebenarnya tidak berniat mengatakan itu.

Aku ingin menutup mulutku, tapi tidak bisa. Kenapa aku seperti kehilangan kendali atas tubuhku? Apa yang sebenarnya yang terjadi padaku?

•••

Kamis, 29 Maret 2018

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang