• lima •

2.5K 435 23
                                    

SETELAH beberapa jam aku menerima perawatan, aku akhirnya diperbolehkan pulang. Semua teman-temanku memutuskan untuk kembali ke rumahnya masing-masing, begitu juga dengan Oki, Juna, Rista dan Herra. Mereka menderita sedikit luka dan untungnya sudah boleh pulang.

Selama perjalanan pulang, aku yang berada semobil dengan Adit dan Fian hanya terduduk diam sambil memandangi jendela. Pikiranku terus bekerja, mencerna semua yang terjadi belakangan ini.

"Masih sakit?"

Aku menoleh ke arah Adit yang masih sibuk menyetir, lalu menggeleng pelan. "Aku tidak merasakan apa-apa malah."

"Kamu beruntung, Tik," jawab Fian. "Kamu yang lukanya paling ringan dibanding yang lainnya."

"Mungkin karena aku duduk di tengah," gumamku. "Aku tidak membayangkan jika aku duduk di posisi Brenda. Rasanya pasti sangat sakit."

"Sudahlah, Tik. Lebih baik kamu bersandar. Kita akan ke rumah Fian lebih dulu sebelum ke rumah. Tidak apa, 'kan?" tanya Adit lagi.

Aku mengangguk, kemudian menyandarkan tubuh di sandaran kursi. Semua pikiran buruk berusaha aku tepis. Benar, aku butuh istirahat. Aku sangat membutuhkan itu.

•••

Sebuah tepukan di pipi membangunkan aku dari tidur. Sesekali kurenggangkan tubuh sambil menguap lebar. Kemudian, mataku terbuka dan menemukan Adit di depanku.

"Cepat turun, hari ini sangat melelahkan. Aku harus beristirahat, dan kamu juga."

Aku mengangguk. Menuruni mobil dan berjalan masuk ke dalam rumah. Saat akan menutup pintu, aku melihat perempuan yang waktu itu memberi kartu werewolf sedang memperhatikan rumahku dari seberang jalan.

"Dit, dia ... perempuan itu, bukan?" tanyaku sambil menahan lengan Adit yang sudah melangkah di depanku.

Adit berhenti, ia menengok ke arah yang kutunjuk sambil mencari perempuan yang kumaksud. "Di mana?"

"Di situ, seberang jalan dekat pohon besar. Matamu di mana, hm?" jawabku sedikit tidak sabar, aku mulai merasa tidak nyaman dengan pandangan perempuan itu. Namun, kenapa Adit tidak melihatnya?

Adit kembali masuk sambil menarik tanganku lalu menutup pintu rumah. "Saatnya beristirahat. Aku yakin kamu lelah sekarang. Tidak ada siapa pun di luar sana."

"T-tapi aku tidak mungkin salah, Dit! Di luar sana tadi ada perempuan yang waktu itu!" kataku tidak mau kalah. "Dia memandangi rumah kita sambil tersenyum mencurigakan. Aku harus menemuinya. Siapa tahu semua ini berhubungan dengan kartu itu. Jira yang mengatakannya padaku!"

Adit menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, Tika. Kita harus tidur karena besok pagi akan ada upacara pemakaman Brenda. Kita tidak mungkin melewatkannya."

Bibirku nyaris terbuka untuk mendebatnya lagi, tapi sedetik kemudian aku menggeleng. Aku sangat mengenal sifat Adit, jika dia sudah mengatakan sesuatu maka tidak akan ada yang bisa mengubah perkataannya.

Dengan langkah lemah aku berjalan ke arah kamarku di lantai dua. Seketika tubuhku menggigil ketika aku melewati kamar tamu di mana Eka semalam terjatuh. Sebuah isakan kecil keluar dari bibirku. Kenapa Eka pergi secepat ini?

Kuteruskan langkah menuju kamar dan menutup rapat pintu kamar. Dengan cepat aku mandi dan berpakaian lalu bersiap untuk tidur. Aku harus istirahat. Besok hari yang melelahkan. Aku harus ... ah, entah apa yang akan terjadi lagi besok. Aku tidak tahu.

Tubuhku sengaja kujatuhkan ke tempat tidur dan mataku mulai terpejam. Saat ketenangan mulai menguasai tubuhku, aku merasa sesuatu berbisik di telingaku.

"Masih ada yang belum selesai."

Dan kemudian kurasakan tubuhku melemah dan mataku mulai terpejam. Ini istirahat, bukan?

•••

Tok. Tok. Tok.

Aku menggeliatkan tubuh saat suara ketukan di pintu membangunkanku. Dengan malas aku berjalan ke arah pintu kamar. Sesaat aku tertegun ketika melihat baju yang kukenakan tampak berbeda dengan semalam. Bukankah semalam aku mengenakan piyama beruang? Kenapa sekarang dengan kaus hijau dan celana panjang hitam?

"Tika!"

Suara yang cukup kencang membuat aku kembali berjalan ke arah pintu dan melupakan pikiranku tentang baju yang kukenakan. Sedikit lucu jika aku memikirkan itu di saat begini bukan?

Kubuka pintu kamar dan menemukan wajah Adit dengan kerutan di dahinya. Aku merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Ada apa, Dit? Kenapa membangunkanku sepagi ini?"

Adit membuka mulutnya, seperti akan mengatakan sesuatu, tapi kemudian menutup mulutnya lagi. "Ayo mandi. Aku tunggu di bawah. Kita akan ke pemakaman Brenda."

Aku menatapnya bingung. "Sepagi ini? Bukankah ini baru jam ...," mataku memandang jam di dinding kamarku sekilas, "enam pagi. Memang upacaranya jam berapa?"

"Jam sepuluh," jawab Adit sambil mengusap tengkuknya dengan tidak nyaman. "Sudahlah, kutunggu di bawah. Kita akan berangkat satu jam lagi."

Setelah mengatakan itu, Adit beranjak meninggalkanku dan berjalan menuruni tangga. Aku termangu sesaat, lalu memutuskan untuk mandi.

Sambil berjalan ke kamar mandi, aku melamunkan sikap aneh Adit. Tidak biasanya dia membangunkanku sepagi ini. Dia juga bersikap tidak nyaman. Apa ada sesuatu yang terjadi?

Kupandangi diriku di cermin, lalu kubasahi dengan air. Tiba-tiba rasa sakit menyerangku mendadak. Aku segera mengambil handuk dan mengeringkan wajahku pelan dan memandangi cermin mencari apa yang membuatku merasa perih.

Sebuah goresan kecil terlihat di bawah mataku. Tidak terlalu panjang, tapi sepertinya cukup dalam. Apa yang terjadi denganku? Kenapa aku tiba-tiba mendapat luka ini?

Memutuskan untuk tidak peduli, aku akhirnya memutuskan untuk segera mandi dan mencari tahu hal lain yang lebih penting dari pada sekadar luka kecil yang mungkin hanya bekas cakaran jariku saat tidur. Aku harus bertanya apa yang terjadi pada Adit.

Dalam tiga puluh menit, aku berhasil menyiapkan diri dan bergegas turun ke bawah. Tubuhku terasa sangat lelah, seperti berat sekali. Padahal, semalam tidurku sangat nyenyak.

Adit sudah duduk di meja makan dan sibuk dengan ponsel di tangan kirinya. Di hadapannya terlihat selembar roti dengan selai cokelat dan secangkir kopi. Aku berjalan menuju meja makan, mengambil selembar roti dan menuangkan segelas jus jeruk.

"Pagi, Dit," sapaku sambil tersenyum.

Adit tampak terkejut dan menaruh ponsel di meja dengan cepat. "Pagi, Tik. Tumben mandinya cepat."

"Entahlah, aku sedang tidak ingin menghabiskan waktu terlalu lama di kamar mandi," jawabku sambil mengoles selai cokelat ke rotiku. "Ada apa? Kenapa kita berangkat sepagi ini?"

Kunyahan di mulut Adit terhenti. Dia menaruh roti di tangannya kembali ke piring, lalu menyesap kopinya pelan. "Ada satu tempat lain yang harus kita datangi sebelum ke upacara pemakaman Brenda."

Aku mengerutkan dahiku, bingung. "Ke mana?"

"Rumah Oki," jawab Adit dengan suara pelan. Mataku menuntut penjelasan lebih lanjut, dan Adit menghela napasnya pelan sebelum bicara.

"Tadi aku menerima telepon dari Fian. Dia bilang ...," Adit menyesap kopinya lagi, desahan frustrasi terdengar di suaranya. Matanya menatapku dalam sementara jantungku berdetak tidak karuan. "Oki su--"

"Apa yang terjadi dengan Oki?" potongku dengan suara bergetar. Aku sangat khawatir. Kenapa ini?

"Oki sudah meninggal."

Suara renyah Adit menamparku keras. Duniaku terasa runtuh saat itu juga. Tanganku jatuh ke sisi piring dengan lemah.

"Oki meninggal?"

•••

Sabtu, 7 April 2018
19.40 WIB

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang