• dua belas •

1.8K 338 19
                                    

Nyatanya tidak butuh waktu lama bagi Difa untuk memutuskan. Meskipun dia masih terlihat ragu dan tidak sepenuhnya mempercayai aku dan Jira, dia tidak mengusir kami dari rumahnya dan malah berjalan ke pintu kamar mandi.

"Tunggu sebentar, aku akan mandi sebelum ikut bersama kalian," katanya sambil masuk ke dalam kamar mandi.

Jira memandangku balik, tanpa sengaja bertatapan denganku. Jira terlihat sangat lega, senyum terukir di wajahnya yang lelah. Aku memutuskan untuk bersandar di pinggiran tempat tidur, beristirahat sejenak.

Tidak lama kemudian, Difa keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk di kepalanya membungkus rambut, lalu berjalan menghampiri kami. "Jadi, rencana kita sekarang apa?"

"Entahlah, mungkin kita harus membuat semua percaya dengan teori ini," kata Jira dengan menghela napas.

"Dan itu semua sangat tidak mudah," lanjutku. "Aku berusaha kemarin, tapi mereka menganggapku tidak waras."

"Secara wajar mereka akan menganggapmu begitu, Tik," jawab Difa. "Kita semua dituntut untuk berpikir logis dan kemungkinan paling logis saat ini adalah semua hanya kecelakaan."

"Dan kenyataannya semua bukan kecelakaan," jelasku sekali lagi dengan penuh penekanan. "Mana ada kecelakaan yang berdasar begini banyak? Mana ada kecelakaan yang memiliki begitu banyak kebetulan?"

"Berarti sekarang kita harus membuktikannya," kata Jira.

Sesaat suasana menjadi hening hingga terdengar bunyi ponselku yang berisik. Aku berdecak kesal, sudah pasti itu adalah panggilan dari Adit. Apa lagi yang dia mau sekarang?

Dengan malas aku mengangkat panggilan itu, lalu terdengar bunti berisik dari ujung sambungan. "Kamu di mana, Tik? Kenapa membawa mobil sembarangan?"

Aku menghela napas. "Aku bersama Jira dan Difa, di rumah Difa."

"Sejak semalam?" tanya Adit lagi. "Kenapa tidak memberitahuku lebih dulu?"

"Bukankah kamu tidak peduli, Dit? Lagi pula kamu bilang kamu lelah, bukan?" tanyaku dengan sarkas.

Adit mendecak kesal di ujung sana. "Kamu tanggung jawabku. Jangan pernah pergi seperti ini lagi."

"Terserah."

"Aku akan menyusul ke rumah Difa, tunggu di sana."

"Tidak usah," kataku cepat. "Mobilmu ada di rumah Jira, aku tadi berangkat ke rumah Difa dengan mobil milik Jira. Kita bertemu di rumah saja."

"Aku dan yang lain ada di pemakaman Bima," kata Adit, suaranya sedikit berbisik. "Kita bertemu di sini, bagaimana? Aku akan mengirimimu alamatnya."

"Baiklah."

Setelah mengatakan itu, aku menutup panggilan dan memandang Difa juga Jira bergantian. "Mereka ada di pemakaman Bima dan meminta kita menyusulnya ke sana. Nanti Adit akan mengirimiku alamat."

Difa mengeluh. "Pemakaman lagi? Kenapa semua ini mendadak menjadi nyanyian kematian?"

Jira mengusap punggung Difa pelan, berusaha menenangkan meski wajahnya juga terlihat lelah dan tidak suka dengan semua yang terjadi saat ini.

"Kita hanya perlu menunggu, sebentar lagi," kataku pelan.

Difa mengangguk dan berjalan ke arah lemarinya, lalu mengambil baju dan mengganti bajunya. Jira tampak serius dengan buku tebal miliknya, ada kerutan di kening gadis itu ketika membaca kalimat demi kalimat di dalamnya.

Ting!

Aku mengambil ponselku dan membuka pesan berisi alamat dari Adit. Dengan menghela napas berat, aku berkata, "Ayo, kita harus segera pergi."

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang