• tujuh belas •

1.6K 300 15
                                    

"Aku tidak akan memberikan satu tetes pun darahku lagi padamu," kata Damai yang memandangku tajam.

Perkataan Damai membuatku menengok ke arah Adit yang mengangkat tangannya tanda tidak tahu apa-apa. Ia berjalan ke sisi sofa dan meletakkan kartu permainan itu di meja.

"Aku tidak mengatakan apa pun padanya," kata Adit. "Begitu aku memanggilmu dan masuk ke sini, Damai langsung mengatakan hal itu."

Aku mengangkat bahuku dan memandang Damai. "Maksudmu?"

"Aku mendengar pembicaraan kalian. Kalian akan melaanjutkan kegilaan ini dan mencoba mematahkan kutukan yang ada dengan cara membakar kartu sialan itu," jawab Damai sambil menunjuk ke arah kartu yang tertumpuk di meja.

"Kita akan mencobanya bersama, Damai. Masih ada harapan. Jika kutukan itu bisa dibatalkan, maka kita semua akan selamat," kataku mencoba membujuknya.

"Semua sudah terlambat, kita tidak akan selamat. Dan kutukan itu tidak ada," desis Damai.

"Bagaimana bisa kamu mengatakan bahwa kita tidak akan selamat jika kamu tidak mempercayai kutukan itu?" tanyaku sambil memandang Damai dengan tatapan mengintimidasi. "Kamu pasti sebenarnya mempercayai itu, tapi terlalu sulit mengatakannya. Ayolah, kita akan membatalkan kutukannya dan aku membutuhkanmu."

Damai memandang Herra dengan tajam selama beberapa menit, lalu pandangan itu beralih padaku dan Adit secara bergantian. "Apa kalian bisa menjaminnya? Apa kalian mampu menjamin kita tidak akan kenapa-napa setelah ini?"

"Kita akan berusaha, Damai," jawab Adit sambil meremas tangannya. "Aku tahu kamu sangat kalut sekarang, tapi aku tahu kamu cukup cerdas untuk sadar bahwa semua ini sangat mungkin terjadi dan sekarang adalah giliranmu untuk mati."

Damai melempar bantal sofa ke arah Adit dengan membabi buta. "Aku tidak akan mati! Aku tidak mau mati!"

"Karena itu percayalah, bantu kami menyelesaikan semuanya. Bukan tidak mungkin kutukan itu akan terbatalkan," bujukku sekali lagi. Pandanganku beralih pada Herra. "Kamu akan membantuku, bukan?"

Herra memandangku sesaat, lalu mengangguk dengan ragu. "Aku tidak tahu apa yang kupikirkan, tapi jika kamu hanya membutuhkan satu tetes darah untuk sebuah harapan hidup, aku akan memberikannya."

"Herra! Kenapa kamu melakukan itu? Kenapa kamu mempercayai si pembunuh ini?" teriak Damai. "Dia sudah membunuh Rista!"

"Semua belum terbukti, Dam. Kamu tahu itu, tidak ada bukti yang menunjukkan bahwa Tika membunuh semua orang seperti dugaanmu. Dan sampai memiliki bukti yang kuat juga nyata, kita tidak bisa menuduh seseorang sebagai pembunuh," jawab Herra.

"T—tapi Her—"

"Dan haruskah kuingatkan padamu bahwa kita tidak memiliki pilihan lain selain mencoba semua ini?" lanjut Herra memotong kalimat Damai.

Adit menghampiri Damai dan berkata, "Lebih baik kita mencobanya. Dan benar kata Herra, kita sebenarnya tidak memiliki pilihan lain, Dam."

Damai jatuh terduduk sambil meremas rambutnya sendiri. "Tapi Tika kemarin menuduhku sebagai pembunuh hanya karena aku berperan sebagai serigala!"

"Dan kamu menuduhku sebagai pembunuh hanya karena aku moderator dalam permainan itu," jawabku cepat. "Bukankah itu impas? Sekarang saatnya kita buktikan bahwa bukan kita yang melakukan pembunuhan itu."

Adit berjongkok hingga sejajar dengan Damai. Dia meremas pundak Damai. :Kita akan mencobanya, bukan?"

Pelan, akhirnya Damai mengangguk. Membuatku menarik napas lega. Harapan untuk selamat, masih ada, bukan?

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang