• delapan •

1.9K 355 16
                                    

KUBIARKAN air membasahiku perlahan. Setelah mendengar perkataan Bima barusan, aku berusaha sekuat tenaga untuk menyeret tubuh hingga kamar mandi. Fian sudah meninggal, bunuh diri.

Jadi, siapa yang mengakibatkan semua ini? Aku pikir Fian dan Damai pelakunya, tapi kenapa Fian malah bunuh diri? Apa ini bagian dari siasat mereka? Mungkinkah? Apa mungkin Fian membiarkan dirinya mati hanya untuk permainan konyol ini?

Susah payah aku menggerakkan tubuh dan segera menyelesaikan mandiku. Mereka semua pasti sudah menungguku di bawah. Apa yang akan aku katakan pada mereka?

Setelah selesai, aku memakai baju dan terduduk di depan cermin sambil mengeringkan rambut yang basah. Pikiranku dipenuhi semua kemungkinan aneh, dan aku juga baru sadar bahwa semlam aku terlalu kasar pada mereka, bahkan pada Jira yang adalah sahabatku sejak kecil.

Pandanganku tiba-tiba saja terkunci pada bayangan sebuah buku kecil di ataa meja belajarku. Aku berusaha mengingat dengan keras, buku apa yang kuletakkan asal di situ. Tidak lama kemudian mataku berbinar, segera kuambil buku itu dan kubuka perlahan.

Gotcha!

Aku mendapatkannya. Ini adalah buku yang kugunakan saat bermain werewolf kemarin. Di dalam buku ini tercatat peran setiap orang juga kapan mereka dinyatakan keluar dari permainan.

Jantungku berdetak dengan sangat kencang ketika menyadari sebuah pola yang aneh. Kematian yang terjadi belakangan ini sesuai urutan kematian pada permainan. Berarti yang dikatakan Jira itu benar? Permainan ini mengikat dan benar-benar menyeret kami pada kematian?

Dengan tergesa aku membawa buku itu dan berlari menuruni tangga. Semua ini semakin jelas, jika Fian meninggal berarti giliran selanjutnya adalah Bima. Aku harus melakukan apa pun untuk mencegah kematian Bima.

"Adit!" panggilku ketika sampai di lantai bawah. Aku berlari menuju ruang tengah dan menemukan bahwa ruangan itu kosong. "Adit?"

Aku berbelok ke sebelah kiri dan memutuskan untuk mencari mereka di ruang makan. Kubuka pintu ruang makan dengan kasar, dan sosok Bima adalah orang pertama yang kulihat. Kuhampiri Bima dan kupeluk dia erat.

"Kenapa, Tik?" tanya Bima bingung dengan sikapku.

Aku menggeleng. "Aku senang kamu masih di sini. Tolong terus berada dengan kami, Bim. Di mana Adit?"

"Adit sedang mandi mungkin," jawab Bima masih kebingungan. "Kamu sakit?"

Aku menggeleng. "Di mana yang lain? Ada sesuatu yang harus aku beri tahu pada mereka."

"Juna, Jira, Rista dan Difa sedang pergi mengambil baju ke rumah masing-masing. Herra mungkin sedang mandi di kamar mandi tamu. Dan Damai masih tertidur di ruang tengah."

"Ruang tengah kosong," kataku lagi, bingung. "Aku habis dari ruang tengah tadi, sesaat sebelum aku ke sini."

Belum sempat Bima menjawab, langkah seseorang terdengar memasuki ruang makan. Aku dan Bima menoleh dengan waspada.

"Apa?"

Kuhela napas yang tertahan dan berusaha tersenyum. "Oh, Damai. Kupikir siapa."

Damai mengangkat bahunya dan berjalan melwatiku untuk mengambil segelas air mineral. "Kenapa sepi sekali?"

"Sedang mandi dan mengambil baju ganti," jawabku pelan. Mataku terus memandangi Damai yang terlihat sangat santai.

"Mandi, Da. Kita harus ke pemakaman Fian," kata Bima membuatku menoleh.

Damai menjatuhkan gelas di tangannya. "Apa? Pemakaman Fian? Pemakaman lagi?"

Bima mengangguk, kemudian melempar pandangannya padaku. "Fian meninggal, tadi malam. Aku tidak tahu apa yang terjadi dengannya. Ketika dia meninggalkan rumah ini, aku mengikutinya sampai rumahnya dan terus mengawasinya dari jauh. Mungkin aku sempat jatuh tertidur, tapi tiba-tiba terdengar bunyi tembakan.

"Aku berlari ke dalam rumah Fian, dan menemukan orang tua Fian sedang menangis sambil menelepon ambulans. Fian menembak kepalanya sendiri, dan beberapa obat penenang ada di dekatnya," jelas Bima.

Aku tertegun, memandangi lantai yang mendadak terasa cukup aman kupandang. Tidak kuhiraukan tatapan membunuh dari Damai, aku yakin dia menyalahkanku atas semua ini.

"Jadi Fian bunuh diri karena dituduh membunuh Eka, Brenda dan Oki?" tanya Damai dengan nada sarkas yang kental. "Menyedihkan nasibnya. Kurasa seseorang harus bertanggungjawab di sini."

"Ap--"

"Kurasa lebih baik kamu mandi dan kita segera sarapan," potong Bima pada Damai. Tangannya menarik tanganku pelan. "Tik, sepertinya Adit sudah selesai mandi. Ayo kita berbicara dengannya."

Aku mengikuti Bima yang terus menarik tanganku menjauh dari Damai. Pandangan Damai sangat menjatuhkan padaku, dan dia seakan menuduhku sebagai pembunuh. Sungguh, aku tidak bermaksud membuat Fian bunuh diri.

•••

"Tik, Bima mana?"

Aku menengok ke arah suara dan terlihat Adit sedang berjalan ke arahku. Kugelengkan kepala pelan, kemudian kembali mengunyah roti isi selai cokelat milikku.

"Bukankah tadi kamu bersamanya, Tik?"

Suara lain lagi, membuatku kembali menghentikan kunyahan. Kali ini suara milik Damai yang masuk dengan wajah datar. Aku mengambil gelas dan meminum isinya sedikit.

"Iya, tapi aku memutuskan untuk kembali ke kamar karena perlu mengambil sesuatu. Sepertinya Bima sedang mencuci mobilnya di garasi," jawabku pelan.

Damai mengangguk paham dan duduk di hadapanku. Sementara Adit masih sibuk membuat secangkir kopi untuk dirinya sendiri. Damai mengambil selembar roti, dan memgunyahnya pelan.

"Nanti kita berangkat jam berapa?" tanya Damai membuka obrolan.

"Kalau semua sudah siap, kita langsung berangkat. Kalian sudah siap?"

Aku mengangguk sebagai jawaban. Begitu pula dengan Damai.

"Ya tinggal tunggu Bima dan Herra. Ke mana mereka berdua?" jawab Adit sambil melangkah duduk di sebelahku.

"Aku ingin bicara sesuatu," kataku yang sudah menyelesaikan sarapanku, "tapi kubutuh semua orang."

Damai memandangku bingung. "Tentang apa?"

"Po--"

Kata-kataku terhenti ketika terdengar suara derap langkah yang buru-buru dan dobrakan kecil di pintu ruang makan. Mataku langsung terarah ke sana dan menemukan Herra sudah berdiri dengan kaki gemetar dan mata yang sembab.

"Ada apa?" tanya Adit panik, dia langsung menghampiri Herra yang sekarang jatuh terduduk.

Herra yang sekarang terduduk hanya menangis dan menunjuk ke arah luar. Aku ikut menghampiri Herra, mencoba memastikan apa yang membuat gadis yang biasa ceria ini menangis hingga terisak parah.

"Kenapa, Her? Ada apa?" tanyaku lagi, sambil mencoba menyibak rambut yang menutupi wajahnya.

"B-bima," desis Herra pelan, tangannya kembali menunjuk ke arah luar.

Adit memandangku sesaat kemudian memutuskan untuk berlari ke luar, mengikuti arah tunjukkan Herra. Aku memeluk tubuh kecil Herra, mengusap punggungnya pelan dan berusaha menenangkan agar dia berhenti menangis.

Damai berdiri di depan kami, lalu memandang Herra tajam. "Apa yang terjadi, Ra?"

Herra menggigit bibirnya, menahan isakan. "B-bima."

"Bima kenapa?" desak Damai lagi.

"Bima mati. Sepertinya terkena sengatan listrik saat mencuci mobil."

•••

Sabtu, 14 April 2018
17.20 WIB

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang