• sepuluh •

1.9K 348 40
                                    

Kubanting pintu kamar dengan suara yang amat keras. Sungguh aku benar-benar muak dengan mereka semua. Mereka tidak mempercayai apa yang kukatakan dan malah menganggap aku gila juga kehilangan kewarasan.

Apa menurut mereka ada penjelasan lebih masuk akal lagi di atas semuanya? Apa ada hal yang lebih masuk akal dibanding dengan penjelasanku tadi? Memang, tidak sepenuhnya asumsiku berdasar pada logika, tapi aku benar-benar yakin dengan semua dan fakta yang kukumpulkan karena aku telah memadukan semuanya.

Tok. Tok. Tok.

Aku menoleh ke arah pintu yang diketuk dari luar. Rasa enggan memenuhi hatiku karena aku yakin paling hanya Adit yang mengetuk karena merasa tidak enak denganku tadi. Namun, akhirnya aku beranjak dari tempat tidur dan melangkah ke pintu.

"Tik, maaf soal tadi," kata orang itu ketika aku membuka pintu.

Aku memutar tubuh dan berjalan meninggalkan orang itu ke dalam kamar, kujatuhkan tubuhku di tempat tidur lagi, sambil memandangnya yang baru akan memasuki kamar dengan tajam.

"Harusnya semua hal ini tidak menjadi serumit ini," katanya lagi.

Masih bungkam, aku memutuskan untuk terus memandangnya dengan tatapan tajam. Benar dugaanku, yang mengetuk pintu adalah Adit dengan rasa bersalahnya.

"Mungkin kamu hanya terlalu lelah, Tik. Aku tahu semua kejadian ini pasti membuatmu merasa tertekan. Semua kematian ini, dan Ok--"

"Ini bukan tentang Oki!" potongku tajam. Aku berjalan menghampirinya dan berdiri tepat di hadapan Adit. "Ini tentang kita dan semua teman-teman kita yang telah meninggal! Kenapa kamu tidak juga paham, Dit?"

Adit menghela napas dan maju memegang pundakku pelan. "Tapi semua yang kamu katakan tampak sangat tidak masuk a--"

"Tidak masuk akal? Iya aku tahu!" potongku lagi sambil menghempas tangan Adit dari pundakku kasar. "Hanya saja, semua permainan ini memang sejak awal tidak masuk akal!"

"Jangan salahkan permainannya," kata Adit lagi mencoba menenangkanku.

"Aku tidak menyalahkan permainan sialan itu," jawabku sambil menunjuk tepat pada dada Adit, tanda aku sangat marah saat ini. "Aku hanya mengungkapkan hal aneh yang mungkin saja tidak kamu sadari ada di dalam permainan itu!"

Adit menyingkirkan telunjukku dari dadanya. "Tika, kamu sedang sangat marah sekarang. Lebih baik kamu menenangkan dirimu dulu. Beristirahatlah."

"Dan membiarkan Jira mati keesokan harinya?"

"Tika!" bentak Adit sambil menghadiahiku tatapan tajam. "Jira tidak apa-apa, Tik. Hentikan semua imajinasimu itu."

"Kamu bilang aku hanya berimajinasi, Dit? Semua yang kujabarkan hanya imajinasi? Iya?" tanyaku lagi pada Adit, kali ini nada suaraku memelan. Kemarahan mendadak hilang dari dadaku dan kini berganti dengan perasaan sesak.

Bagaimana bisa aku tidak sesak saat ini? Adit, adikku sendiri, menganggap aku hanya berimajinasi dan menciptakan teori konyol atas semua ini?

"Tika, dengar, aku bukan menganggapmu hanya berimajinasi. Aku hanya ... katakanlah, aku hanya khawatir denganmu. Aku takut kamu merasa tertekan dan menjadi ... menjadi seperti ini," katanya sambil menunjuk pada diriku lalu ia mengacak rambutnya.

"Seperti apa?" tanyaku lagi.

Adit hanya memandangku lalu mengarahkan tangannya dari atas ke bawah sambil menunjukku.

"Seperti apa, Dit? Seperti apa?" tuntutku lagi padanya.

Adit mengusap tengkuknya dengan tidak sabar. "Sudahlah, lebih baik kamu beristirahat."

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang