• tiga •

3K 531 17
                                    

SUARA berisik membuatku terbangun dari tidurku. Ruangan ini masih gelap, mungkin listriknya belum menyala. Tanganku meraba tempat di sebelahku, mencari Jira.

"Bagaimana bisa?"

Mataku terbuka lebar mendengar suara bentakan dari Adit. Sedikit linglung, aku bangun dan mengambil lilin terdekat untuk menjadi penerang saat aku berjalan.

Suara berisik itu membawaku pada salah satu kamar tamu di lantai dua. Dalam gelap, aku melihat beberapa lilin menyala di beranda kamar. Segera kuhampiri mereka

"A-aku tidak tahu, Dit! Tadi kupikir ada suara aneh apa, nyatanya Eka, dia--"

"Ada apa?" potongku tiba-tiba.

Adit langsung menghampiriku yang baru sampai di pintu beranda. "Kenapa kamu ada di sini, Tik? Kembalilah tidur."

Aku menghempas tangannya dari bahuku. "Kalian berisik. Dan aku penasaran apa yang terjadi di sini. Ada apa?"

Adit mengusap tengkuknya dengan kaku. Pandanganku beralih pada Bima dan Oki yang saling pandang kemudian memandang beranda bagian bawah. Aku segera berjalan menuju beranda.

"Tik," cegah Adit.

"Aku ingin tahu."

Tidak kuhiraukan kalimat Adit, aku berjalan ke beranda dan segera melihat ke bawah. Seketika telingaku pengang karena teriakanku sendiri. Aku menunjuk-nunjuk sambil menangis.

"Bagaimana bisa, Eka?"

Oki meraih tubuhku dan mendekapnya pelan. "Adit sudah bilang jangan lihat, bukan?"

Sebuah ketenangan kurasakan, dan hal itu malah membuat tangisku semakin pecah. Apa yang terjadi pada Eka? Kenapa dia bisa jatuh dari beranda?

"Bukankah tadi kita semua tertidur di ruang tamu?" tanyaku lagi sambil mengusap air mata.

Adit mengangguk. "Aku harus mengurusnya. Memanggil polisi, dan mengabari keluarga Eka. Kalian ... turunlah."

Setelah mengatakan itu, Adit dan Bima pergi menuruni tangga. Dan di waktu yang bersamaan, listrik menerangi rumahku lagi. Oki menarik lembut lenganku dan menenangkan sambil melingkari tangannya di pundakku yang bergetar.

•••

Mataku masih sembab, tapi sekuat tenaga aku bersama semua temanku menghadiri pemakaman Eka. Keluarga Eka menolak untuk diadakan otopsi, mereka memilih beranggapan bahwa Eka mengalami kecelakaan hingga jatuh dari beranda.

Aku menolak semua itu. Ada yang aneh di sini. Aku ... aku sempat melihat jasad terakhir Eka sebelum petugas rumah sakit membawanya dengan ambulans. Pada lengan kirinya terukir tulisan aneh.

Tulisan itu berbunyi "the game isn't over yet" dengan tinta merah atau darah? Aku tidak tahu. Semua ini terasa sangat menakutkan bagiku. Bahkan tanpa sadar, aku memeluk tubuhku sendiri.

"Semua ini aneh," bisikku pada Adit setelah pemakaman selesai. Aku dan Adit berjalan menuju mobil kami. Di belakang, Jira melangkah pelan bersama Brenda.

"Hanya kecelakaan. Semalam memang sangat gelap," jawab Adit berusaha yakin, meskipun kulihat rahangnya mengeras. "Tidak usah dipikirkan."

"Kamu melihatnya, bukan? Lengan kiri Eka? Tulisan itu?" kataku lagi keras kepala.

Adit menggeleng. "Sudahlah, Tik. Kamu bisa sakit jika memikirkan ini. Eka juga pasti tidak ingin kita terlalu bersedih."

"Eka juga pasti ingin kita memecahkannya, Dit!" sentakku keras. Aku berhenti melangkah dan kutatap mata Adit tajam.

"Sudah kubilang, ada hal buruk akan terjadi. Dan kalian tidak percaya."

Sebuah suara datar dan menyeramkan terdengar, membuatku menoleh ke arah sumber suara itu. "J-jira?"

Adit menghampiri Jira dan menggoyang bahunya pelan. Pandangan Jira tampak kosong, dan bibirnya memucat. Entah kenapa aku merasa aneh dengannya.

"Jira!" panggil Brenda lagi, tangannya ia kibaskan di hadapan Jira yang masih belum bereaksi.

Kegaduhan kembali terjadi ketika dari arah belakang terdengar suara geraman rendah yang membuat kami segera menoleh ke arahnya.

"Permainan sudah dibuat dan tidak akan bisa berhenti sampai semuanya selesai!"

Aku menggigit bibir bawahku mendengar kalimat demi kalimat yang keluar dari bibir Fian. Rasa takut menguasaiku. Apa maksudnya? Kulihat Oki, Bima, Adit dan Damai berusaha mengajak Fian bicara.

Namun, yang Fian katakan hanya kalimat itu berulang kali. Terus dan terus dia ucapkan tanpa berhenti. Aku menutup telingaku agar tidak mendengar suaranya, tapi gagal. Bahkan sekarang Jira kembali bersuara.

"Hal buruk akan terjadi. Hal buruk sudah terjadi. Hal buruk akan terjadi. Hal buruk sudah terjadi," desis Jira kencang.

Lagi, kututup telingaku rapat-rapat menahan tangis.

"Permainan baru saja dimulai, kalian tidak akan bisa lari. Selesaikan!" kata Fian lagi dengan geraman rendah.

Pandanganku memudar. Bisa kulihat semua teman-temanku berusaha menyadarkan Fian dan Jira, tapi keduanya tetap terus mengatakan hal yang sama berulang kali. Sontak, semua pelayat yang tadi akan bubar malah kembali mengerubungi kami.

Dari kejauhan dapat kulihat mamanya Eka, Tante Asri memeluk suaminya sambil menangis. Mereka pasti sangat tertekan dengan semua ini.

"HENTIKAN!" teriakku refleks. Aku sungguh tidak tahan mendengar semua ini. "BERHENTI! AKU BILANG BERHENTI!"

Lalu tiba-tiba Fian dan Jira jatuh pingsan. Aku jatuh terduduk dan merasa lemas mendadak. Tanpa bisa kutahan, sebuah kalimat keluar dari bibirku.

"Kita akan melanjutkan permainannya."

•••

Rabu, 4 April 2018
18.02 WIB

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang