• empat •

2.7K 461 9
                                    

"APA yang kamu katakan, Tik?"

Suara Adit memenuhi pendengaranku. Aku menoleh ke arahnya, kemudian jatuh terduduk. Herra menghampiriku cepat, berusaha memapah tubuhku yang melemah.

"Aku mengatakan apa tadi?" tanyaku setelah sampai di mobil.

Herra mengulurkan sebotol air mineral padaku, dan memintaku meminumnya dengan isyarat. Aku meminum sedikit air dan kembali bertanya, "Adit mana? Fian dan Jira bagaimana keadaannya?"

Oki menatapku dari kaca spion, berusaha menenangkan. "Adit di mobil belakang bersama Fian dan Jira. Mereka jatuh pingsan. Bagaimana keadaanmu?"

"Hanya pusing," jawabku. "Aku harus kembali ke sana."

"Maksudmu?" tanya Rista yang sedari tadi diam memandangku takut. "Kembali ke mana? Pemakaman? Untuk apa?"

"Aku harus menemui mamanya Eka. Beliau terlihat begitu kaget tadi. Kita harus kembali dan menjelaskan semuanya," kataku sedikit panik.

"Adit sudah menjelaskan semuanya pada orang tua Eka, Tik. Sekarang lebih baik kita kembali ke rumahmu dan membahas semua ini. Aku merasa ada yang ti--"

"Aku mau kembali!" potongku setengah berteriak. Di luar kendali, aku memaksa membuka pintu mobil sebelah kiri. Rista yang berada di sebelah kiriku langsung menahan tanganku.

"Apa-apaan kamu, Tika? Sadar, Tik! Sadar!" kata Rista sambil mencoba melepaskan tanganku dari pegangan pintu.

Aku menggeleng, menolak keras. Dengan cepat kuarahkan tanganku ke pintu sebelah kanan. Sedikit tersentak karena aku merasa tubuhku sangat kuat dan cepat.

Brenda yang berada di sebelah kananku langsung dengan sigap menempatkan dirinya di pegangan pintu supaya aku tidak mampu menjangkaunya.

"Tika sadarlah, semua bisa kita bicarakan baik-ba--"

"Oki, awas!"

Semua terjadi begitu cepat, yang bisa kudengar hanya suara decitan rem mobil dan benturan keras ke arah pembatas jalan sebelah kanan. Telingaku berdenging cepat, dan kurasakan pandanganku buram.

Aku mengerjapkan mata berulang kali, sampai akhirnya pandanganku mulai jelas. Oki dan Juna yang duduk di depan tampaknya tidak sadarkan diri. Begitu juga dengan Rista yang berada di sebelahku. Herra yang di belakangku juga tampak terluka di bagian kepalanya.

"T-tolong."

Terdengar suara rintihan pelan di telingaku. Suara Brenda, aku sangat mengenalnya. Aku menoleh ke sebelah kanan dan kulihat posisi Brenda sangat mengenaskan. Tangannya terjepit pegangan pintu mobil dan tubuhnya terhimpit bagian badan mobil yang merangsek ke dalam.

"T-tika? Tolong aku," pintanya lagi ketika menyadari aku sudah terbangun.

Aku diam menatapnya tajam, tidak berbuat apa-apa. Tubuhku terasa kaku, dan aku hampir tidak sadar saat tanganku mengarah pada Brenda.

"Geserkan tubuhmu sedikit, Tik," kata Brenda lagi dengan pilu, sedikit rintih kesakitan terdengar.

Entah apa yang terjadi selanjutnya, karena yang kutahu semua hanya gelap dan sebuah benturan kencang disertai teriakan kesakitan juga bunyi sesuatu yang patah terdengar mengiris pendengaranku.

•••

Mataku menatap nanar pada langit-langit di atas ruang perawatanku. Sepulang dari pemakaman, mobil yang aku tumpangi kecelakaan hebat. Oki seperti kehilangan kendali dan menabrak pembatas jalan dengan sangat kencang. Kata Adit, aku beruntung karena hanya menderita luka ringan dan sebentar lagi diperbolehkan pulang.

Begitu juga dengan Oki dan Juna yang hanya cedera ringan di dahinya dan beberapa luka memar di bagian lengan. Sayangnya Rista dan Herra sedikit mendapat jahitan karena benturan di kepala begitu keras hingga merobek dahi mereka.

Dan yang paling mengejutkanku, Brenda mengalami luka parah hingga meninggal di tempat. Sekuat tenaga aku berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum aku tidak sadarkan diri. Aku hanya ingat aku meminta kembali ke lokasi pemakaman, tapi mereka mencegahku.

Aku memegang kepalaku yang terasa sakit. Rasanya, tadi ada yang tidak beres terjadi. Aku seperti mendengar rintihan Brenda dan suara benturan kencang lagi terakhir kali. Sebelum itu, aku juga seperti mendengar suara aneh. Suara itu mengatakan--

"Tika? Sudah sadar?"

Mendengar sebuah suara yang memanggil, aku pun menoleh ke arah pintu. "Ya, Jir."

Jira masuk ke dalam ruang perawatanku dan duduk di kursi sebelah ranjang. "Ada yang tidak beres, bukan?"

Aku memandangnya dalam, kemudian menggeleng. "Aku tidak tahu. Kenapa seperti ... semuanya membuatku berpikir ini tentang permainan itu."

"Sudah kukatakan, Tik. Ada hal buruk yang akan terjadi, dan kemudian kita memainkan permainan itu. Aneh, bukan?" tanya Jira lagi.

Kupegang kepalaku yang sesaat terasa sangat sakit. "Aku tidak tahu, Jira. Sungguh."

"Kita kerasukan," desis Jira lagi. "Di pemakaman. Kamu ingat? Fian, aku dan kamu kerasukan. Kita meracau hal aneh. Lagi pula, cobalah pikirkan lagi. Mana ada permainan normal yang meminta para pemainnya untuk mendonorkan setetes darah?"

Pandanganku tertuju pada Jira sesaat. Kutatap matanya tajam. Dan tidak ada keraguan di sana. Aku mendesah, apa benar aku kerasukan? Apa benar semua ini karena permainan itu?

Sambil menghela napas, aku menjatuhkan wajah di kedua lutut yang kupeluk sejah tadi. "Apa semua kematian ini juga karena permainan itu tidak berakhir?"

•••

Jumat, 6 April 2018
17.41

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang