• sembilan •

1.9K 369 33
                                    

TIDAK lama kemudian Adit kembali masuk, aku memandangnya dan menemukan bahwa mata Adit terlihat sembab. Bima benar-benar sudah meninggal dan Adit pasti merasa tertekan dengan semua ini.

"Dit," kataku sambil berjalan menghampirinya.

"Aku sudah menelepon polisi juga ambulans agar mereka cepat datang. Tidak apa, semua masalah sudah berhasil ditangani. Kita hanya perlu menunggu sebentar lagi," jawab Adit sambil tersenyum.

Aku menggeleng pelan, Adit terlihat sangat lelah dan ini semua sudah keterlaluan. Ketika Herra dan Damai memutuskan untuk masuk ke ruang makan, aku masih berdiri di depan Adit yang memandang ke depan dengan kosong.

"Dit, kamu baik-baik saja?"

Tidak ada jawaban. Lagi, aku menarik tangannya pelan dan berkata, "Kamu baik-baik saja, kan, Dit? Kamu butuh istirahat."

Seketika, Adit memandangku dan menarikku ke pelukannya. "Aku tidak mengerti mengapa semua ini terjadi. Mereka semua mati satu per satu di depan mataku."

Kurasakan tubuh Adit bergetar. Adit yang biasanya terlihat kuat kali ini menangis di pundakku. Bagaimanapun juga, Adit tetap adikku, anak kecil yang masih belum sanggup melewati semua ini dengan tenang seperti yang terlihat.

Aku mengusap punggungnya. "Kita akan menyelesaikan semuanya, Dit. Semua kematian ini. Kamu hanya perlu menunggu sebentar."

"Sampai kapan, Tik? Bahkan aku sudah terlalu lelah sekarang," jawab Adit dengan lemah.

Aku mengeratkan pelukanku padanya. Adik kecilku ini membutuhkanku sekarang. "Kita akan berusaha lebih. Sementara itu, kita harus mengurus semua yang sudah terjadi."

Setelah mengatakan itu, suara sirine terdengar. Ambulans telah sampai. Adit mengusap wajahnya kasar dan berjalan meninggalkanku untuk menemui petugas rumah sakit.

"Bersiap-siaplah, Tik. Kita tetap harus ke pemakaman Fian," bisiknya sebelum menghilang di balik pintu.

Aku mengangguk. Lalu berjalan menuju ruang makan. Bagaimana mungkin aku bisa tenang di tengah situasi ini? Apa yang harus kulakukan sekarang? Kenapa ada enggan untukku berpikir lebih?

•••

Pemakaman Fian berjalan lancar, dan orang tua Bima meminta Bima untuk tidak dilakukan autopsi yang artinya besok, aku akan kembali menghadiri pemakaman. Sudah berapa lama sejak aku menghabiskan hari-hariku hanya untuk pergi ke pemakaman sahabatku?

Ini liburan musim panas, tapi kenapa bukan bahagia yang kurasakan? Kenapa aku mengalami sial yang bertubi-tubi begini? Melalui spion yang terletak di tengah, aku memerhatikan wajah Adit. Kantung mata mulai muncul di bawah matanya.

"Kita akan ke mana sekarang?" tanya Herra memecah kesunyian.

"Ke rumahku. Aku ingin bertemu dengan kalian semua. Maksudku, aku akan mengatakan sesuatu tentang semua ini. Ya, mungkin pemikiranku," jawabku cepat.

Herra mengangguk. "Yang lain juga ke sana? Jira sama Difa udah bisa dihubungin, belum?"

"Belum, mungkin nanti malam atau besok kita ke rumah mereka langsung saja. Kalau sekarang, aku terlalu lelah. Kita semua lelah," jawab Adit cepat.

"Iya, kita butuh istirahat," lanjutku sambil memandang ke depan. Aku berpikir keras, bagaimana caranya mengatakan semua yang kupikirkan pada mereka? Apa mereka akan percaya?

•••

Lima pasang mata memandangku dengan aneh sesaat setelah aku mengatakan pada mereka apa yang kupikirkan selama ini. Aku mengacak rambut, frustrasi. Bagaimana jika mereka tidak memercayainya?

"Maksudmu semua ini permainan?" tanya Damai membuka suara dengan nada sarkas.

Aku mengangguk.

"Dan kita terjebak dalam permainan yang kita mainkan malam itu?" lanjut Juna sambil tersenyum miring.

Lagi-lagi aku mengangguk. Aku tahu mereka tidak percaya, tapi aku harus melakukannya. Dengan cepat aku berlari ke atas dan mengambil buku catatan kecil tempatku menulis urutan dan peran waktu itu.

"Lihatlah, aku menulis semuanya di sini," kataku sambil menunjukkan buku itu pada mereka. "Hari pertama kalian memilih untuk menggantung Eka dan Eka mati di urutan pertama."

"Kemudian ada Brenda di urutan ke dua, Oki di urutan ke tiga, Fian di urutan ke empat dan Bima di urutan ke lima, semua persis dengan apa yang terjadi dalam permainan. Apa kalian belum juga mau percaya?" lanjutku masih meyakinkan mereka semua.

"Dan artinya yang nanti selamat hanya Adit?" jawab Damai dengan nada menyindir yang jelas.

"Hebat sekali permainan ini, menyelamatkan saudara kandung dari moderator," lanjut Juna yang juga terlihat tidak percaya dengan kata-kataku.

Aku mengembuskan napas pelan. "Aku tidak membual, dan jangan lupakan bahwa kalian yang memainkan permainan ini. Kalian yang memilih siapa yang akan digantung atau dimakan selanjutnya tanpa berpikir!"

Herra menggigit jarinya dengan takut. "Aku tidak tahu apa aku harus percaya padamu atau tidak," katanya.

"Aku ... aku sama sekali tidak bisa berpikir. Namun, yang kamu jelaskan tadi memiliki dasar, Tik. Aku mau tidak mau akan berusaha memercayaimu sekarang," ucap Rista sambil memandangku dalam.

Setengah dari jiwaku terasa lega. Akhirnya ada yang mau memercayaiku. Aku tersenyum simpul. Kualihkan pandanganku pada Adit yang menatap lantai sejak tadi.

"Dit, kamu percaya padaku, bukan?" tanyaku padanya.

Adit mengangkat wajahnya, kemudian memandangku. "Aku tidak tahu. Yang kubutuhkan sekarang hanyalah semua ini selesai. Apa yang akan kita lakukan?"

Damai tertawa kecil. "Baiklah, mari percaya pada teori masuk akal Tika. Lalu siapa yang akan menjadi korban selanjutnya? Rista? Herra?"

Herra memeluk kakinya erat, dapat kulihat ketakutan terpancar jelas di matanya. Aku mengambil bukuku dan mataku membesar mendadak.

"Jira, kita harus menghubungi Jira karena dia yang selanjutnya," kataku sambil berlari ke arah pintu. "Adit, kita harus menyelamatkan Jira. Kita harus ke rumahnya sekarang."

Adit hanya terdiam, tidak bergerak. "Apa kamu yakin, Tik? Bagaimana jika teorimu salah? Aku sudah terlalu lelah."

"Kamu meragukanku?" teriakku tidak terima. "Apa aku terlihat seperti akan membohongimu? Membohongi kalian?"

"Sejujurnya," jawab Juna memotong, "iya. Aku tidak percaya padamu. Dan aku tahu Adit butuh istirahat."

Suasana di ruangan seketika menjadi hening. Mereka semua menatapku dengan penuh intimidasi. Aku terdiam, lalu menundukkan wajahku.

"Jika sesuatu terjadi pada Jira, kalian akan menyesal karena telah meragukanku," kataku sambil melewati mereka dan meninggalkan ruangan itu.

Aku berlari ke kamarku, membanting pintu kamar dengan keras. Mereka tidak memercayaiku, dan mereka akan menanggung semua akibatnya sendiri.

•••

Selasa, 8 Mei 2018
18.22 WIB

Rindu sekali tamara dengan kalian. Masih ada yang nunggu cerita ini?
Mari pemanasan sebelum bulan depan ada yang baru lagi.

Anyway, kalian bosan ngga sih sama ceritaku yang kelam terus? Mending buat terus kelam, atau mencoba yang manis? Ayolah aku bingung mhehehe.

Mari ngobrol!
Lobeyu.

Tamara

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang