• delapan belas •

1.7K 288 10
                                    

Perkataan Herra barusan membuat hatiku benar-benar hancur, bagaimana mungkin semua yang mereka lakukan sia-sia? Padahal aku dan Adit sudah membakar kartu permainan sialan itu, kami sudah menghanguskan semuanya. Kenapa Damai masih saja mati?

"Bagaimana maksudmu, Her? Damai mati?" tanya Adit dengan wajah tidak percaya. Pandangan Adit beralih padaku. "Kita sudah membakar kartunya dengan benar, bukan?"

Aku mengangguk. "Kita sudah melakukannya dengan benar. Di buku itu tertulis kita harus merendam kartu permainan itu di dalam air yang berisi darah dari semua pemain."

"Kita tidak merendamnya dengan air dan darah dari semua pemain," kata Adit sambil berpikir keras. Dia menjentikkan jarinya dan melihatku dengan kesal. "Apa mungkin karena itu makanya semua tidak bekerja?"

Kugelengkan kepalaku tanda tidak paham, perlahan luka bakar yang mengenai tanganku terasa sangat menyakitkan. Aku mulai merasa perih yang tidak tertahan dan meringis.

"Tika ada apa dengan tanganmu?" tanya Herra sambil memandangku takut. "Kamu terluka?"

"Entah kenapa tadi api menyambar lenganku ketika aku membakar kartu permainan itu," jawabku sambil menahan sakit. "Tadinya tidak terasa sakit, tapi sekarang mulai perih."

"Kita harus mengobatinya," kata Adit sambil membawaku ke ruang tengah.

Herra mengangguk sambil berjalan di belakangku dan Adit menuju ruang tengah, kemudian di tengah jalan, tiba-tiba Herra berkata, "Sepertinya lebih baik kita tidak masuk ke ruang tengah."

"Kenapa?" tanyaku tidak mengerti.

Herra mengangkat bahunya sambil sedikit menggeleng, dengan gugup ia mengusap lengannya kasar, tanda tidak nyaman.

"Ada apa?" tanyaku sambil tetap berjalan menuju ruang tengah.

"Apa ada hal buruk yang terjadi?" tanya Adit juga.

Herra mengangguk. "Damai mengiris nadinya di ruang tengah, aku tidak tahu apa yang terjadi atau bagaimana semua itu terjadi. Yang aku tahu hanya Damai tiba-tiba mengamuk dan berlari ke luar ruangan.

"Tidak lama kemudian, ia kembali ke ruang tengah sambil mengacungkan pisau ke arahku. Dia mengoceh banyak hal, dia bilang ..., ah sebentar, aku sulit mengingatnya," kata Herra sambil menggeleng. "Dia bilang kita tidak akan berhasil membatalkan kutukan itu? Sepertinya begitu."

Adit menghela napasnya ketika mendengar Herra bercerita. Pegangannya padaa pundakku terasa lebih kuat mencengkeram. Aku berusaha tenang dan melihat wajahnya sekilas untuk memberikan ketenangan.

"Aku harus mengambil kunci mobilku di dalam, kalian lebih baik pergi ke ruang makan lebi dulu. Nanti aku akan menyusul sambil membawakan kotak obat untuk luka bakarmu," kata Adit sambil berusaha tersenyum.

"Tidak, Dit, aku akan ikut menemanimu. Ayo," kataku sambil memeluk lengannya agar dia tidak pergi meninggalkanku. "Herra, kamu ke ruang makan saja dulu. Aku akan menyusul tidak lama lagi. Aku tahu, kamu pasti tidak ingin melihat ruang tamu lagi, bukan?"

Herra mengangguk lalu memutar tubuhnya dan berjalan menuju ruang makan. Setelah kepergiannya, aku dan Adit kembali berjalan sambil terus berpegangan satu sama lain.

"Aku tidak habis pikir," kata Adit dengan suara lirih.

"Apa?" tanyaku sambil memandang wajah Adit yag memucat sekilas. "Kalau tentang insiden pembatalan kutukan yang tidak berfungsi, aku juga tidak mengerti, Dit. Kita sudah melakukannya sebisa kita. Dan sesuai dengan yang tertulis dalam buku."

"Kalau tentang itu aku tidak begitu memikirkannya, Tik," jawab Adit menggeleng.

Keningku berkerut. "Lalu apa yang membuatmu tidak habis pikir?"

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang