• sebelas •

2K 340 10
                                    

Suara berisik membangunkanku dari istirahat yang cukup membuat tubuhku kembali merasa baik-baik saja. Beberapa kali aku mengerjapkan mata sebelum akhirnya memutuskan untuk bangun dan meregangkan tubuh.

Sekilas aku memandang sekeliling, mencoba mengingat apa yang telah terjadi semalam. Rasanya tadi malam aku begitu marah dan pagi ini aku bangun dengan perasaan yang baik-baik saja. Mataku terpaku pada sebuah bingkai foto, fotoku dan Jira.

Ah, aku baru ingat. Semalam aku kabur dari rumah dan mengunjungi rumah Jira untuk memastikan dia baik-baik saja. Perasaanku begitu lega saat melihat Jira membuka pintu dan tampak tidak terluka sedikit pun.

Segera aku bangun dan berjalan menuju kamar mandi yang terletak di ujung kamar Jira. Aku sudah biasa menginap di sini, tinggal di sini hampir sama seperti tinggal di rumahku sendiri.

Aku dan Jira berteman sudah cukup lama, sekitar tiga tahun. Waktu itu aku merasa tidak enak karena teman dekatku terlihat mengabaikan Jira, lalu aku memutuskan untuk mengenal Jira dan nyatanya malah berteman dekat seperti sekarang.

Jira tidak jelek, atau cupu, atau apa pun yang sering membuatnya diremehkan. Hanya saja, Jira terlihat sedikit unik karena kesukaannya terhadap sesuatu yang dianggap aneh oleh banyak orang. Yang kutahu, Jira juga sedikit peka terhadap hal gaib dan menakutkan.

Setelah selesai membersihkan diri secara kilat di kamar mandi, aku menuju ruang tengah. Pasti Jira sedang menyiapkan kopi untukku sekarang, karena aroma kopi tercium begitu menyengat di hidungku.

"Pagi, Tik," sapa Jira sesaat ketika aku masuk. Aku tersenyum ke arahnya dan duduk di kursi yang berseberangan dengannya.

"Tidurnya nyenyak banget. Kamu kurang istirahat beberapa hari ini?" tanya Jira sambil menyodorkan secangkir kopi ke arahku.

Aku mengambil cangkir kopi itu, mencium aromanya yang menenangkan lalu menyesapnya pelan. "Siapa yang tidak kurang istirahat dengan kejadian belakangan ini?" tanyaku membalik pertanyaannya.

Jira mengangguk, lalu kembali sibuk dengan buku tebal di hadapannya. "Bagaimana pun, kita tidak boleh kekurangan istirahat, Tik. Kalau kita dalam kondisi lemah, hal buruk akan semakin mungkin terjadi."

"Semua hal ini membuatku tertekan," keluhku yang lalu menyandarkan tubuh di sandaran kursi dan memejamkan mata.

"Aku paham, semua ini memang berat. Apa lagi untuk kamu," kata Jira memandangku lembut. "Hanya saja, kita tidak boleh lengah. Aku ... bingung mengatakannya, tapi saat ini kita berada di titik rawan. Sekali kita kehilangan atas kendali tubuh kita, maka semua akan berakhir.

"Maksudku ... tubuh kita ini sudah tidak hanya dimiliki oleh kita, Tik. Ketika kondisi kita buruk, kutukan ini akan memengaruhi kita dan membuat kita melakukan entah hal buruk apa lagi," jelas Jira panjang lebar.

Aku terus memandangnya, menunggu penjelasan lebih dari bibirmya. Kalimatnya membuatku sangat bingung, tapi aku tahu dia sudah berusaha menjelaskannya. Memang, Jira bukan tipe orang yang mudah berbicara.

"Tubuh kita, bukan kita saja yang punya," ucap Jira lagi, kali ini ia berdiri sambil berjalan mondar mandir di depanku. "Seperti di pemakaman, kamu ingat?"

"Yang mana?" tanyaku balik. "Lebih baik kamu tenang dulu, Jir. Duduk dan minumlah, lalu jelaskan padaku lebih perlahan. Aku tidak mampu mencerna kalimatmu dan kamu tahu kamu akan semakin rumit ketika sedang dalam kondisi bingung atau tertekan begini."

Omonganku sepertinya berdampak pada Jira. Dia mulai duduk dengan tenang lalu menyesap kopi miliknya. "Kamu ingat kejadian di pemakaman? Sesaat setelah Eka meninggal, mendadak aku dan Fian kehilangan kendali?"

The Cursed [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang