(Part of Kelana) SATU - AKU KELANA

359 15 2
                                    

Jika saja dia tahu tentang hati yang mati

Pun sama saja dengan aku yang tak pernah temukan cinta sejati

Perempuan itu meninggalkanku sendiri

Menganggapku tak berarti

Dia tak pernah tahu bahwa dia buatku patah hati

Bukan hanya sekali, namun berkali—kali

Ketika ingatan menyakitkan itu diulang dalam memori

Dan terpaksa aku hanya bisa mengagumi

Menyentuhnya dalam mimpi dan memeluknya hilang kendali...

***

BANDUNG.

Aku terlahir sebagai kesedihan. Merakit kebahagiaan adalah hal yang tersulit aku lakukan. Aku kemudian menjadi terasing akan semesta yang bising, menjadi buta ketika semesta menawarkan keindahan tak terbantahkan,tak sampai disitu, aku menjadi tuli ketika orang lain membicarakan merdunya semesta.

Beginikah aku hidup? Untuk inikah aku terlahir? Aku bertanya pada malam yang sunyi, karena aku tahu malam akan mendengarkanku walau dirinya hanya membisu tak menjawab. Hingga orang-orang mengenal itu Cinta, Cinta bagiku hanya oase sebuah persepsi kesepian dari seseorang, karena Cinta tak pernah menyentuhku sekalipun aku membutuhkannya.

KELANA – Begitulah aku dipanggil. Seorang anak yang tak beruntung. Seorang lelaki yang tumbuh dengan ruang luka. Aku sama sekali tidak pernah merasakan kebahagiaan. Sejak aku kecil, aku sudah merasakan kehidupan yang kelam dan bayang-bayang itu masih ada dan tak akan pernah mungkin untuk hilang. Sejujurnya aku tak ingin kembali menceritakan kisah kelam ini kepadamu, karena bagiku untuk menceritakan kisahku saja aku seperti menguliti diri sendiri. Pedih.

Yang hanya perlu kamu tahu adalah bagaimana hidup tidak semua sama – tidak semua hidup mendapatkan peran yang menyenangkan. Yang terlahir dari keluarga sempurna lalu mendapatkan kisah asmara tanpa cacat disetiap episode. Dan aku bukan salah satu peran itu.

Aku hidup dari keluarga yang tak pernah untuk bisa tenang – bahkan bernafas leluasa dirumah sendiri saja sulit aku temukan. Aku masih kecil waktu itu, namun kisahku tak sekecil perawakanku yang kurus tak terurus.

Setiap hari, setiap malam selalu saja ada hal yang tak bisa diselesaikan secara baik oleh kedua orangtua ku. Tak ayal karena itulah selalu ada adu mulut hingga tamparan keras yang mendarat di pipi Ibuku dan aku menyebutnya itu tahap akhir.

Karena titik klimaks ayahku yang membabi buta adalah dengan memukul Ibuku dan aku harus menikmati tontonan itu tanpa episode akhir setiap malam.

Dan Jika sudah masuk pada tahap akhir. Ibuku selalu menyuruhku untuk mengunci diri di kamarku – setelah itu terdengar beberapa benda dilempar. Ayahku tempramental dan Ibuku adalah Ibu yang hanya bisa diam tanpa membela diri.

Tak pernah sekalipun ayahku untuk pulang dalam keadaan sadar, ayahku selalu pulang dengan keadaan mabuk – diantar oleh seorang perempuan dengan lipstik dan rambut berantakan. Aku dulu tak mengerti apa yang sedang terjadi.

Yang aku tahu setiap pagi Ibuku selalu meringis menahan lebam yang ada diseputar wajahnya. Jika aku tanya kenapa setiap pagi wajah Ibu lebam, dia hanya bilang bahwa dia terjatuh di toilet.

Perlakuan ayahku tak pernah berhenti. Entah apa alasan yang menjadi bahan utama ayahku memukuli Ibuku. Mungkin ayahku capek, se sederhana itu pikiranku ketika aku kecil. Padahal nyatanya psikis ayahku terganggu. Sempat pada suatu malam Ayahku membawa beberapa perempuan berpakaian seksi.

RUANG LUKA (END)Where stories live. Discover now