LIMA BELAS - PERTEMUAN KEDUA

56 2 0
                                    

Aku berdiri sebagai pertemuan. Mematung mencari cari arti dari kesedihan yang segera berkesudahan, aku adalah pilar pengharapan yang akan segera ditepis oleh pembaruan. Perempuan itu datangkan tenang dan aku ingin buatnya senang. Kita pernah sama-sama terluka atas sepasang mata yang ingkar, jika saja aku bisa menawar. Aku ingin bertemu dengannya sekali lagi bahkan berkali-kali.

LONDON COURT, PERTH.

SEPERTI YANG SUDAH DITENTUKAN – aku menunggu kedatangan Dylan ditempat yang ditentukan, aku duduk disebuah meja kayu didepan toko pernak-pernik segala macam tentang Perth. London Court tampak ramai, semua orang berlalu lalang didepanku. Tak jauhseorang pemain clarinet menyuarakan sebuah lagu. Aku menelisik ke sebuah toko, menghampirinya. Tidak ada salahya untuk membelikan oleh-oleh untuk Tante Irma, Om Johan juga Ryan.

Aku memasuki toko itu, disambut ramah oleh penjual. Aku menelusuri aneka gantungan kunci hingga tas dengan.

Seseorang menepuk pundakku, dan dia adalah Kanaya.

“ Loh Kanaya? Kamu sedang ngapain disini?”

“ Belanja off course, oh iya kenalin ini Maya. Sahabatku”

Aku menjabat tangan seorang perempuan gemuk bernama Maya. Maya menjabat tanganku lumayan lama, aku melepaskannya. Wajahnya merah merona menatapku Genggaman Maya sangat kuat, Kanaya menyenggol Maya sengaja. Dan akhirnya tangan Maya terlepas. Kanaya sudah membeli beberapa pernak-pernik khas perth. Satu hal yang pasti, entah kenapa aku selalu bertemu dengan Kanaya tanpa adanya janji tanpa adanya kesepakatan.

Kemudian seorang lelaki bule berperawakan tinggi  yang aku selanjutnya aku tahu itu adalah pacar dari Maya menghampiri aku dan Kanaya, mengajak Maya pergi.

“Mas, titip teman saya ya. Awas jangan sampa lecet ya” ucap Maya kepadaku, menitipkan Kanaya. Kanaya melotot ke arah Maya kemudian dirinya tersenyum.

“Maafkan teman aku ya, Kel”

“Teman kamu asik koq”

“Jadi nggak apa-apa kalau aku ganggu shopping kamu?”

“Nggak apa-apa koq, lagian saya bingung harus beli apa, ” kataku

Dan kini hanya tinggal aku dan Kanaya. Kanaya masih memilih beberapa pernak-pernik yang akan dibeli. Kanaya membantuku untuk memilih beberapa oleh-oleh. Untuk urusan belanja memang perempuan ahlinya dan aku sangat suka dengan apa yang Kanaya pilih terlepas itu untuk siapa nantinya tapi aku suka cara Kanaya memilih, kadang rambut panjangnya menghalangi pandangannya sendiri lalu dia tepikan rambut itu ke atas telinga.  Percayalah salah satu hal indah dari perempuan adalah dengan cara memainkan rambutnya didepan lelaki, seni yang sederhana namun berhasil membuai.

Setelah aku dan Kanaya keluar dari toko oleh-oleh. Aku membelikan Kanaya eskrim cup.

“Sebegai ucapan terimakasih karena sudah bantu saya buat milih oleh-oleh”

“Makasih loh,” balasnya

“Saya lah yang harusnya bilang terimakasih”

“Terus siapa jadinya yang harus bilang sama-sama”

“Barengan?”

Aku dan Kanaya tergelak. Entah alasan apa yang pantas mengapa aku dan Kanaya harus tertawa atas apa yang dibahas dan juga tak perlu ada alasan untuk dua orang yang sama-sama saling membuat rasa nyaman.

“Sepertinya aku baru pertama kali liat kamu tertawa, Kel –“

“Dan itu tidak buruk untuk kamu lakukan”
Hingga Kanaya pun tahu aku tidak pernah tersenyum. Jangankan Kanaya, aku saja tidak pernah tahu kapan terakhir kali aku tersenyum. Jikapun memang ini kali pertama, mungkin Kanaya adalah jawaban diatas pengharapan yang sejak dari dulu aku gantungkan, tentang siapa seseorang yang akan membuatku tersenyum. Kanaya tidak hanya cantik, dia juga selalu membuat aku bersamanya merasakan apa itu arti dari sebuah kenyamanan.

RUANG LUKA (END)Where stories live. Discover now