(Part of Kanaya) ENAM - PATAH HATI

105 6 0
                                    

Part Of KANAYA

Perpisahan hanya simbol bahwa tidak ada lagi kata kita

Perpisahan hanya tentang dua hati yang sama-sama lelah

Kita masih bisa saling tatap walau memisah kata harap

Kita masih bisa saling memeluk walau hanya sebatas redup

Percayalah berpisah tak selamanya sendu karena kita masih akan saling merindu...

Malam ini sunyi, angin musim dingin menghampiriku yang duduk disebuah taman kota tanpa permisi. Angin malam menyelinap dengan hati-hati, sesekali aku bergidik. Aku mengusap-usap tangan sendiri,berusaha menghangatkan namun angin malam justru lebih handal untuk urusan mendinginkan.

Sudah dua jam lebih aku duduk dan sesekali berdiri, hal ini bukan berarti tidak ada tujuannya. Ketika aku sudah mulai putus asa lalu aku arahkan pandanganku meninjau jauh mencari-cari lelaki yang sudah terlanjur janji untuk menemuiku malam ini.

Kemudian harapan itu hadir menjadi kenyataan, bayang itu menjadi objek yang nyata. Biru kekasihku datang, dia tergopoh-gopoh berlari karena dia sadar bahwa dia sudah teramat terlambat bahkan tega membuat seorang perempuan yang dicintainya menunggu terlalu lama. Biru bukan lelaki yang sering terlambat jika kita memutuskan untuk bertemu, dia pribadi yang disiplin. Biru bukan kebanyakan lelaki yang pandai bersandiwara ketika dirinya terlambat.

Dia tidak pintar untuk berbohong bahkan menepuk nyamuk ditangannya saja dia tak berani. Sebegitu lembut dan halusnya perempuan lelaki itu dan aku beruntung menjadi perempuannya.

Aku bangkit, aku mencoba untuk tersenyum seperti biasa ketika kita bertemu Namun senyumku pudar seketika ketika tahu bahwa raut wajah Biru seperti seseorang yang sedang dalam keadaan tidak baik. Biru duduk, dia menghela nafas beberapa kali. Aku didekatnya mencoba untuk sedikit lebih paham tentang apa yang sebenarnya terjadi.

Tidak seperti biasanya, Biru bersikap dingin malam itu – bahkan lebih dingin Biru dibandingkan angin yang masih menyelinap kedalam mantel tebal milikku .

"Ada apa?Kamu kenapa? Cerita sama aku,"

Aku membuka lebar-lebar jawaban yang akan aku terima, namun beberapa menit Biru hanya terdiam. Nafasnya berat, seperti seseorang yang sedang menanggung permasalahan yang sangat berat.

Biru bangkit, Aku mengikuti. Biru membelakangiku , lalu terucap kalimat yang ringkih namun jelas.

"Maafkan aku. Aku mau kita putus"

Kalimat itu masih mengelilingi otakku. Aku bertanya-tanya pada diriku sendiri. Apa salahku? Apa yang sudah aku perbuat hingga dia pergi dengan kalimat menyakitkan. Dan kalimat itu berhasil membuatku lemah dan sakit tak berdarah yang kurasakan sendiri malam ini. Air mataku meleleh. Jatuh tak tertahan. Aku genggam tangan sendiri, menguatkan diri sendiri dalam malam yang menyakitkan.

Dan aku sedang mempersiapkan diri bahwa malam-malam selanjutnya kenangan indah itu akan hadir kembali masuk tanpa celah lalu berhasil membujuk air mata kembali untuk tumpah.

Biru tak memberikan aku kesempatan untuk menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Dia setengah berlari menuju mobilnya, aku mengejarnya sekuat yang aku bisa. Mencengkram lengannya, Biru berbalik, air matanya tergenang nyaris meleleh.

"Biru, please jikapun kita harus pisah. Tolong jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Kamu tidak bisa menyelesaikan hubungan kita dengan kata putus begitu saja, please kasi tahu aku apa salahku?" aku memohon – mengiba sedemikian rupa. Namun Biru masih saja diam tak bergeming.

RUANG LUKA (END)Where stories live. Discover now