SEMBILAN BELAS - PERPISAHAN SESAAT

144 4 3
                                    

AKU MENUNGGU – Biru semalaman, belum ada tanda-tanda bahwa Biru sadarkan diri. Namun baru saja aku terlelap disampingnya, tangan Biru bergerak perlahan. Pergerakan tangan itu semakin aktif lantas Biru mengerjapkan matanya, melihatku berada disampingnya lalu dia tersenyum.

“ Hei, Aku disini, ” kataku

Biru tersenyum. Bulir tetes air mata jelas menggenang di pelupuk matanya, Biru mengusap rambutku lalu tangannya mencari tanganku minta dikuatkan. Biru masih tetap seseorang yang sama, seseorang yang menyayangiku.

“ Tetaplah disamping..ku” katanya terbata
Aku mengangguk.

Air matanya menetes , jauh mengabur Biru terlelap kembali, matanya tertutup namun tangannya masih erat singgah ditanganku, sulit jika aku tidak memaafkan Biru. Biru meninggalkanku dengan alasan yang jelas pun demikian dengan hal-hal yang aku tahu dari Darren. Bahwa Biru masih mencintaiku – bahwa Biru masih ingin denganku.
Terkadang memang alasan memutuskan hubungan tidak melulu atas landasan perselingkuhan namun juga mengalahkan hati untuk orang yang dicinta. Seperti yang dilakukan Biru kepadaku beberapa tahun yang lalu. Dan kini Biru kembali dengan keadaannya – dengan penjelasannya. 

Tak lama Darren datang menanyakan keadaan Biru lantas memberikan satu kabar baik kepadaku.

“ Barusan saya  di telepon oleh temen saya  di Jerman, dan saya sudah mendapatkan pendonor hati untuk Biru, Nay”

Mendengar kabar itu aku bahagia bukan main, Biru telah mendapatkan pendonor hatinya. Biru akan pulih.

“Kita harus secepatnya berangkat ke Jerman” lanjut Darren

“Untuk berapa lama?” kataku

“Paling cepat tiga bulan, Nay. Kenapa?”

“Nggak apa-apa,” kata-kataku setengah menggantung diudara

Keputusan yang aku buat adalah untuk ikut perjalanan ke Jerman menemani Biru, dan entah kenapa aku merasakan kehampaan sesaat. Meninggalkan Jakarta, meninggalkan Bandung, meninggalkan dia yang mungkin saja menungguku kemarin, hari ini bahkan seterusnya. Ini bukan masalah harapan yang sama sama kita gantungkan lalu hilang, ini lebih seperti harapan yang sengaja dihilangkan oleh semesta untuk aku dan Kelana. Dan jika saja urusan hati Kelana dan Aruna sudah selesai, tidak bagiku. Karena entah ruang hatiku kini seolah terbagi, untuk Biru dan Kelana.
Jauh didasar hati. Aku seperti dipanggil oleh kebisuan rasa yang ada, Aku merindukannya. Merindukan seorang lelaki yang datang dan ingin lebih atas perasaan yang dia punya, aku rindu dia. Aku rindu Kelana.

***

MALAMNYA – Maya datang bersama Mahesa untuk menjenguk Biru. Aku mengutarakan maksud untuk meminta ijin bertolak ke Jerman untuk beberapa hari menemani Biru kepada Mahesadan itu artinya aku akan meminta ijin cuti kepada Mahesa, tanpa pikir panjang Mahesa mengijinkan aku. Sungguh walau aku sudah menolak Mahesa, Mahesa tetap seseorang yang tulus dan mengerti akan diriku.

“Pergi saja. Temani dia, jangan hiraukan pekerjaanmu disini. Kita bisa handle semuanya. Fokus saja kepada kesehatan Biru” katanya sambil menatap ke arahku, matanya masih mengundang harapan lalu cepat-cepat dia memalingkan wajah ketika aku balas menatapnya.

Karena kata Maya, sehari setelah aku menolak Mahesa. Mahesa tidak berada di kantor, menurut gosip yang Maya terima. Mahesa menghabiskan waktu sendiri dengan minuman keras, karena dengan cara begitu Mahesa bisa menenangkan diri atas luka yang baru aku berikan.

Darren datang bergabung dengan aku , Maya dan Mahesa. Darren menjabat tangan Mahesa lalu tersenyum kepada Maya. Darren memberikan aku sebuah tiket perjalanan ke Jerman minggu depan. Aku menatap tiket itu , tiket yang akan membawaku jauh dari Bandung. Sejujurnya hatiku masih janggal, tak ingin pergi namun sedang aku tak bisa membiarkan Biru seorang diri. Karena Biru bagiku masih sama, seseorang yang lebih dulu membuat aku bahagia.

RUANG LUKA (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang